BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam sebuah
perkumpulan, sering kita jumpai berbagai macam perbedaan pendapat di antara
mereka. Adanya keberagaman pandangan mengenai sesuatu menjadi faktor terutama
terjadinya konflik di dalamnya, hingga menimbulkan suatu perpecahan di antara
mereka. Peristiwa seperti itu sudah terjadi sejak zaman khalifah dulu.
Munculnya berbagai macam golongan dalam agama islam, disebabkan oleh adanya
perbedaan pandangan atau pola pikir terhadap suatu permasalahan. Semua ini
terjadi juga dikarenakan adanya sebuah perpolitikan di antara mereka.
Di dalam makalah
ini, kami akan membahas mengenai golongan atau aliran mu’tazilah. Dalam
kemunculan golongan mu’tazilah ini, ada berbagai versi yang mengirinya. Salah
satu versi menyebutkan bahwa aliran mu’tazilah ini telah ada sejak zaman
pertikaian politik antara ‘Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Golongan
yang tidak mau berintervensi dalm pertikaian tersebut dikenal dengan nama
Mu’tazilah. Mereka menjauhkan diri ke Kharbita (i’tazalat ila kharbita).
Terjadinya peristiwa itu, menyimbolkan bahwa golongan Mu’tazilah adalah
golongan yang netral dalam politik. Dengan demikian, kata mu’tazilah dan
i’tazala telah dipakai kira-kira seratus tahun yang lalu sebelum adanya
peristiwa Wasil dengan Hasan Al-Basri (versi yang terkenal).
Pembahasan lebih
mendalam mengenai doktrin-doktrin Mu’tazilah dan hal-hal yang bertentangan
dengan Sunni akan kami bahas dalam makalah ini.
Semoga bermanfa’at dan dapat menambah wawasan kita mengenai berbagai
golongan dalam Islam, khususnya Mu’tazilah.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan
masalah ynag dibahas dalam makalah yang berjudul “Doktrin Aliran Mu’tazilah dan
Hal yang Bertentangan dengan Sunni” adalah sebagai berikut:
a. Bagaimana asal-usul kemunculan golongan
Mu’tazilah?
b. Bagaimana doktrin-doktrin ajaran
Mu’tazilah?
c. Siapa sajakah tokoh dalam golongan
Mu’tazilah?
d. Bagaimana pandangan Mu’tazilah mengenai
peranan akal dan wahyu?
e. Bagaimanakah perbandingan ajaran atau
pandangan antara Mu’tazilah dan Sunni?
C. Tujuan
Adapun tujuan
dalam pembuatan makalah ynag berjudul “Doktrin Aliran Mu’tazilah dan Hal yang
Bertentangan dengan Sunni” adalah sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui asal-usul kemunculan
golongan Mu’tazilah
b. Untuk mengetahui doktrin-doktrin ajaran
Mu’tazilah
c. Untuk mengetahui tokoh-tokoh dalam
golongan Mu’tazilah
d. Untuk mengetahui pandangan Mu’tazilah
mengenai peranan akal dan wahyu
e. Untuk mengetahui perbandingan ajaran
atau pandangan antara Mu’tazilah dan Sunni?
D. Manfa’at
Adapun manfa’at
yang dapat kita peroleh dengan pembuatan makalah yang berjudul “Doktrin Aliran
Mu’tazilah dan Hal yang Bertentangan dengan Sunni” adalah sebagai berikut:
a. Kita dapat mengetahui asal-usul
kemunculan golongan Mu’tazilah
b. Kita dapat mengetahui doktrin-doktrin
ajaran Mu’tazilah
c. Kita dapat menegetahui tokoh-tokoh dalam
golongan Mu’tazilah
d. Kita dapat mengetahui pandangan
Mu’tazilah mengenai peranan akal dan wahyu
e. Kita dapat mengetahui perbandingan
ajaran atau pandangan antara Mu’tazilah dan Sunni
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Asal-usul
Kemunculan Golongan Mu’tazilah
Secara harfiah, kata Mu’tazilah berasal dari kata
i’tazala yang berarti berpisah atau memisahkan diri, yang berarti juga menjauh
atau menjauhkan diri. Sebenarnya, kemunculan kaum Mu’tazilah ini memiliki banyak
versi. Salah satunya, adalah munculnya golongan Mu’tazilah yang dilatar
belakangi oleh sebuah peristiwa pada Majelis Pengajian di Masjid Bashrah. Kelompok
pemuja akal ini muncul di kota Bashrah (Irak) pada abad ke-2 Hijriyah, antara
tahun 105-110 H, tepatnya di masa pemerintahan khalifah Abdul Malik bin Marwan
dan khalifah Hisyam bin Abdul Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah
mantan murid Al-Hasan Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha’ Al-Makhzumi
Al-Ghozzal. Ia lahir di kota Madinah pada tahun 80 H dan mati pada tahun 131 H.
Di dalam menyebarkan bid’ahnya, ia didukung oleh ‘Amr bin ‘Ubaid (seorang
gembong Qadariyyah kota Bashrah) setelah keduanya bersepakat dalam suatu
pemikiran bid’ah, yaitu mengingkari taqdir dan sifat-sifat Allah. (Lihat Firaq
Mu’ashirah, karya Dr. Ghalib bin ‘Ali Awaji, 2/821, Siyar A’lam An-Nubala,
karya Adz-Dzahabi, 5/464-465, dan Al-Milal Wan-Nihal, karya Asy-Syihristani
hal. 46-48).
Dalam Majelis tersebut, timbul pertanyaan yang
dikemukakan oleh Wasil Ibn ‘Atha dan temannya bernama ‘Amr Ibn Ubaid, yaitu
tentang orang yang berdosa besar yang mati belum bertobat, apakah ia masih
tetap mukmin sebagai mana pendapat golongan Murjiah, ataukah ia sudah menjadi
kafir dalam arti keluar dari Islam (murtad) sebagaimana pendapat golongan
Khawarij. Sebelum Hasan Al-Basri menjawab, Wasil mengemukakan pendapatnya bahwa
orang yang berbuat dosa besar, mati sebelum ia bertobat, maka ia tidak mukmin
lagi, tetapi tidak pula kafir, melainkan fasiq, berada pada tempat antara kafir
dan mukmin (almanzilah bain al-manzilatain). Kemudian ia menjauhkan diri dari
majelis Hasan Al-Basri, pergi ket tempat lain di Masjid. Atas peristiwa itu
Hasan Al-Bisri mengatakan : “Wasil telah menjaukan diri dari kita
(‘itazal’anna). Sikap Wasil ini diikuti oleh temannya yang bernama ‘Amr Ibn
Ubaid. Maka keduanya dan pengikut-pentikutnya disebut “Mu’tazilah” (Al-Milal
Wan-Nihal,hal.47-48 ), karena mereka menjauhkan diri dari faham umat Islam
tentang orang yang berbuat dosa besar. Pertanyaan itu pun akhirnya dijawab oleh
Al-Hasan Al-Bashri dengan jawaban Ahlussunnah Wal Jamaah: “Sesungguhnya pelaku
dosa besar (di bawah dosa syirik) adalah seorang mukmin yang tidak sempurna
imannya. Karena keimanannya, ia masih disebut mukmin dan karena dosa besarnya
ia disebut fasiq (dan keimanannya pun menjadi tidak sempurna).” (Lihat kitab
Lamhah ‘Anil-Firaq Adh-Dhallah, karya Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan, hal.42).
Golongan
Mu’tazilah dikenal juga dengan nama-nama lain seperti ahl al-adl (golongan yang
mempertahankan keadilan Tuhan) dan ahl al-tuahid wa al-adl (golongan yang
mempertahankan kesamaan murni dan kedilan Tuhan).
- Ajaran-ajaran Dasar Mu’tazilah
Ajaran-ajaran dasar golongan
Mu’tazilah berasal dari Ibn Atha’, pokok-pokok pikiran itu dirumuskan dalam
ajarannya yang disebut “Al-ushul al-Khamsah”, atau lima ajaran dasar yaitu :
1. At-Tauhid
(pengesahan Tuhan)
2. Al-‘adl
(keadilan Tuhan)
3. Al-waad
wa al-wa’id (janji dan ancaman Tuhan)
4. Al-manzilah bain al-manzilatain (posisi di
antara dua posisi)
5. Al-‘amr bi al-ma’ruf wa al-nahi an al-munkar
(menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran)
1)
At-Tauhid
(Ke-Esaan Tuhan)
Tauhid
adalah dasar Islam pertama dan utama. Sebenarnya tauhid ini bukan milik
golongan Mu’tazilah saja. Tetapi mereka menafsirkan sedemikian rupa dan
mempertahankannya dengan sungguh-sungguh. Maka mereka menyebut diri mereka
dengan ahl al-tauhid. At-tahuid berarti ke-Maha Esaan Tuhan. Menurut faham
mereka Tuhan akan benar-benar Maha Esa, apabila Tuhan merupakan zat unik, tiada
yang serupa dengan Dia, serupa dalam segala hal, dalam sifat-Nya, perbuatan-Nya,
ciptaan-Nya dan sebagainya. Oleh karena itu mereka menolak faham antropormofisme,
yang menggambarkan Tuhan dekat menyerupai makhluk-Nya. Tuhan tiada merupakan
jisim atau syakhs,
Penolakan
Mu’tazilah terhadap pendapat bahwa Tuha data dilihat oleh mata kepala merupakan
konsekuensi logis dari penolakannya terhadap antropormofisme. Tuhan adalah
immateri, tidak tersusun dari unsur, tidak terikat oleh ruang dan waktu, dan
tidak berbentk. Adapun yang dapat dilihat adalah yang berbentuk dan memiliki
ruang. Oleh sebab itu, kata melihat ditakwilkan dengan mengetahui (know) dalam surat Al-Qiyamah (75)
ayat 22-23.
Tuhan
adalah zat yang qadim. Tiada sesuatu yang boleh qadim, selain Tuhan. Sejalan
dengan ajaran ini, Mu’tazilah berpendapat dengan nafy ash-shifat atau peniadaan sifat Tuhan, dalam arti Tuhan
mengetahui bukan dengan sifat, tetapi dengan dzat-Nya, Tuhan berkuasa dengan dzat-Nya,
berkehendak dengan dzat-Nya. Dengan kata lain, Mu’tazilah meniadakan sifat
Tuhan dalam arti sifat yang mempunyai wujud sendiri di luar zat Tuhan. Tiada
berarti Tuhan tidak diberi sifat-sifat. Tuhan bagi mereka tetap maha
Mengetahui, maha mendengar, maha hidup, maha kuasa dan sebagainya, tetapi semua
ini tidak dapat dipisahkan dari dzat Tuhan. Berbagai macam sifat-sifat Tuhan
tersebut merupakan bentuk esensi Tuhan.
2)
Al-‘Adl
(Keadilan Tuhan)
Kalau
dengan al-tauhid Mu’tazilah ingin mensucikan diri Tuhan dari persamaan dengan
makhluk, maka dengan al-‘adl kaum Mu’tazilah ingin mensucikan dari perbuatan-perbuatan
makhluk. Hanya Tuhanlah yang dapat berbuat adil. Ajaran bertujuan ingin
menempatkan Tuhan benar-benar adil menurut sudut pandang manusia, karena alam
semesta ini sesungguhnya diciptakan untk kepentingna umat manusia. Ajaran tentang
keadilan ini berkaitan erat dengan beberapa hal, antara lain sebagai berikut:
a. Perbuatan
Manusia
Menurut
Mu’tazilah, manusia melakukan dan menciptakan perbuatannya sendiri, terlepas
dari kehendak dan kekuasaan Tuhan, baik secara langsung ataupun tidak. Manusia
benar-benar bebas untuk menentukan pilihan perbuatannya, baik atau buruk. Tuhan
berlepas diri dari perbuatan yang buruk.
b. Berbuat
Baik dan Terbaik
Dalam
istilah arabnya, berbuat baik dan terbaik disebut ash-shalah wa al-ashlah.
Maksudnya adalah kewajiban Tuhan untuk berbuat baik, bahkan terbaik bagi
manusia. Menurut An-Nazzam, salah satu tokoh Mu’tazilah, Tuhan tidak dapat
berbuat jahat. Konsep ini berkaitan dengan kebijaksanaan, kemurahan, dan kepengasihan
Tuhan, yaitu sifat-sifat yang layak bagi-Nya.
c. Mengutus
Rosul
Mengutus
Rasul kepada manusia merupakan kewajiban Tuhan, karena beberapa alasan, yakni:
·
Tuhan wajib berlaku baik kepada
manusia dan hal itu tidak dapat terwujud, kecuali dengan mengutus Rasul kepada
mereka.
·
Al-Qur’an secara tegas menyatakan
kewajiban Tuhan untuk memberikan belas kasih kepada manusia (Q.S. Asy-Su’ara
[26]: 29). Cara terbaik untuk meksud
tersebut adalah melalui pengutusan Rasul.
·
Tujuan diciptakannya manusia adalah
untuk beribadah kepada-Nya. Dengan adanya pengutusan Rasul ini, diharapkan
tujuan tersebut dapat tercapai.
3)
Al-waad wa
al-wa’id (Janji dan Ancaman)
Dasar
ajaran ini merupakan lanjutan dari ajaran tentang al-‘adl. Golongan Mu’tazilah
yakin bahwa janji Tuhan akan memberikan upah atau pahala bagi orang yang
berbuat baik, dan memberikan ancaman akan menyiksa orang yang berbuat jahat
pasti dilaksanakan, karena sesuai dengan janji dan ancaman Tuhan. Siapa yang
berbuat baik akan dibalas dengan kebaikan atau pahala, sebaliknya orang yang
berbuat buruk akan dibalas dengan keburukan atau siksa.
Perbuatan
Tuhan terikat dan dibatasi oleh janji-Nya sendiri, yaitu memberi pahala bagi
surga bagi yang berbuat baik (al-muthi) dan mengancam dengan siksa neraka atas
orang yang durhaka (al-ashi). Begitu pula dengan janji Tuhan untuk memberi
pengampunan pada orang yang bertobat nasuha. Ajaran ini tampaknya mendorong
manusia berbuat baik dan tidak melakukan perbuatan dosa.
4)
Al-Manzilah
bain al-manzilatain (Posisi di antara dua posisi)
Prinsip
ini sangat penting dalam ajaran Mu’tazilah, karena merupakan awal persoalan yang
timbul dalam masalah teologi sehingga lahir golongan Mu’tazilah, yaitu
persoalan orang yang berdosa besar, ia mati belum sempat bertobat, orang
tersebut tidak mukmin dan tidak pula kafir, tetapi fasiq, suatu posisi diantara
dua posisi. Golongan Khawarij berpendapat bahwa orang tersebut menjadi kafir
dan akan kekal di neraka. golongan Mu’tazilah berpendapat bahwa orang tersebut
tidak mukmin dan tidak kafir tetapi fasiq dan akan kekal di neraka, tetapi
siksanya lebih ringan dari orang kafir.
5)
Al-amr bi
al-ma’ruf wa al-nahi ‘an al-munkar (Perintah untuk berbuat baik dan larangan
berbuat jahat).
Ajaran ini
sebenarnya bukan hanya dimiliki oleh golongan Mu’tazilah saja, tetapi juga
dimiliki oleh semua umat Islam. Perbedaan madzhab Mu’tazilah dengan madzhab
yang lai mengenai ajaran kelima ini terletak pada tatanan pelaksanaannya.
Menurut Mu’tazilah, jika memang diperlukan, kekerasan dapat ditempuh untuk
mewujudkan ajaran tersebut, sejarahpun telah mencatat kekerasan yang pernah
dilakukannya ketika menyiarkan ajaran-ajarannya. Sedangkan, golongan lain tidak
perlu menggunakan kekerasan, cukup dengan penjelasan yang persuasif dan
aplikatif.
- Tokoh-tokoh Mu’tazilah
Perlu
diketahui, aliran Mu’tazilah berpusat di Bashrah (Irak), dan cabangnya di Baghdad . Tokoh-tokoh
Mu’tazilah banyak sekali, tetapi akan dikemukakan beberapa orang saja, antara
lain :
- Wasil Ibn ‘Atha (80 – 131 H)
Wasil adalah pemuka dan pembina
aliran Mu’tazilah sebagai telah disebutkan di atas, ia adalah pendiri dan
eletak dasar ajaran Mu’tazilah yang dirumuskan dalam lima prinsip ajaran dasar (ushul al-khamsah).
Pendapat-pendapatnya kemudian dimatangkan oleh tokoh-tokoh dan pemuka-pemuka
datang kemudian seperti Abu al-Hudzail, Al-Nazhzham, Al-Jubbai dan sebagainya.
- Abu al-Hudzail al-‘Allaf (135 –
226 H)
Abu al-Hudzail termasuk tokoh
Mu’tazilah di Basrah. Ia banyak mempelajari buku-buku Yunani dan banyak
terpengaruh oleh buku-buku tersebut, dan karena dia maka Mu’tazilah mengalami
perkembangan yang pesat. Di antara pendapat-pendapatnya adalah sebagai berikut
:
·
Tentang ‘ardl. Dinamakan ‘ardl bukan
karena mendatang pada benda-benda, karena banyak ‘ardl yang terdapat pada bukan
benda seperti waktu, abadi, hancur. Ada
‘ardl yang abadi dan ada yang tidak abadi.
·
Menetapkan adanya atom (bagian yang
tidak dapat dibagi-bagi lagi).
·
Gerak dan diam. Benda yang banyak
bagian-bagiannya bisa bergerak dengan satu bagian yang bergerak. Menurut
Mutakalimin hanya bagian itu sendiri yang begerak.
·
Qadar, yakni manusia dapat
mengadakan perbuatan-perbuatannya di dunia, akan tetapi kalau sudah berada di akhirat
tidak berkuasa lagi.
·
Tuhan, tanpa wahyu dapat diketahui.
Ia dapat diketahui dengan perantaraan kekuatan akal.
- Ibrahim Ibn Sayyar al-Nazhzham
(wafat 231 H)
Ia adalah murid Abu al-Nadzail
al-‘Allaf, orang terkemuka lancar beribicara, banyak mendalami filsafat dan
banyak karangannya. Pada masa kecilnya ia banyak bergaul dengan orang-orang
bukan dari Ilsam. Setelah dewasa ia banyak berhubungan dengan filosof-filosof
pada masanya. Banyak pendapat-pendapatnya yang berbeda dengan orang-orang
Mu’tazilah lainnya. Di antara pendapat-pendapatnya adalah sebagai berikut:
·
Tentang benda (jisiim). Selain
gerak, semua yang ada disebut jisim, termasuk warna, bau dan sebagainya.
·
Tidak mengakui adanya bagian-bagian
yang tidak dapat dibagi lagi (atom). Menurutnya sesuatu bagian bagaimanapun
kecilnya dapat dibagi-bagi.
·
Pada hakikatnya semua yang ada itu
bergerak. Mungkin hal ini karena pengaruh filsafat Heraklitos.
·
Hakikat manusia adalah jiwanya,
bukan badannya seperti pendapat abu al-Hudzail. Menurutnya badan hanyalah
merupakan alat saja, dan ia mengatakan bahwa badan itu adalah penjara bagi
jiwa, kalau jiwa lepas dari badan ia akan kembali ke alamnya.
·
Berkumpulnya suatu kontradiksi
dengan suatu tempat itu menunjukkan adanya Tuhan.
·
Teori Sembunyi (kumun).
·
Semua makhluk dijadikan oleh Tuhan
sekaligus dalam waktu yagn sama. Karena itu sebenarnya Nabi Adam itu tidak
lebih dulu dari anak-anak, demikian pula ibu tidak lebih dulu dari anaknya.
Lebih dulu atua kemudian hanyalah dalam lahirnya ke dunia, bukan dalam asal
kejadiannya.
·
Kemu’jizatan Al-Qur’an, terletak
dalam pemberitaan hal-hal yang gaib.
·
Seperti Abu Al-Hudzail ia juga
berpendapat, tanpa wahyu Tuhan dapat diketahui, yaitu dengan kekuatan akal
manusia.
4. Al-Jahizh
‘Amr Ibn Bashr (Wafat 256 H)
Ia dikenal tajam penanya, banyak
karangannya dan gemar membaca buku-buku filsafat terutama filsafat alam.
5. Al-Jubbai
Abu Ali Muhammad Ibn Abd. Al-Wahhab (wafat tahun 295 H)
Al-Jubbai adalah salah seorang
pemimpin Mu’tazilah yang sama kemsyhurannya dengan wasil, Abu Al-Hudzail dan
al-Nazhzham. Pendapat-pendapat Al-Jubbai antara lain adalah:
·
Tuhan tidak dpat disifati dengan kamil, karena
yang disifati dengan kamil hanya yang terdiri dari bagian-bagian, sedang Tuhan
tidak terdiri dari bagian-bagian.
·
Tuhan tak dapat disifati dengan
syaja’ah (berani), karena berani berarti berani kepada hal-hal yang disenangi
dan hal-hal yang ditakuti.
·
Adapun yang disebut kalam atau sabda
Tuhan adalah yang tersusun dari suara dan huruf, maka ia diciptakan, baru dan
tidak qadim.
·
Tuhan tidak dapat dilihat dengan
mata kepala di hari kiamat, karena Tuhan itu immateri tidak dapat dilihat oleh
yang materi, maka Tuhan hanya dapat dilihat dengan mata hati.
·
Daya untuk berbuat sesuatu itu telah
ada di dalam diri manusia sebelum perbuatan itu dilakukan, dan daya itu
merupakan sesuatu di luar tubuh manusia.
Tokoh-tokoh Mu’tazilah cabang Baghdad antara lain:
1) Mu’amar
ibn Abbad al-Sulmay (Wafat 220 H)
Ia adalah pembina Mu’tazilah cabang Baghdad . Ia banyak terpengaruh
oleh filosof-filosof, terutama tentang sifat-sifat Tuhan.
2) Bisyr
ibn Mu’tamir (wafat 226 H)
Diantara pendapatnya ialah siapa
orang yang bertobat dari dosa besar, kemudian ia mengulangi lagi, maka ia akan
menerima siksa berlipat ganda.
3) Abu
Musa al-Murdar (wafat 226 H)
Menurut Syahrastani ia sangat kuat
mempertaruhkan pendapat bahwa al-Qur’an itu tidak qadim, dan Tuhan tidak dapat
dilihat dengan mata kepala di hari kiamat.
4) Abu
al-Husain al-Khayyat (wafat 300 H)
Ia juga berpendapat bahwa daya
berbuat bagi manusia sudah ada dalam tubuh manusia sendiri. Dan dengan melalui
akalnya manusia berkewajiban mengetahui Tuhan, dan mengetahui perbuatan baik
dan buruk sebelum wahyu turun.
D. Pemikiran
Mu’tazilah tentang Akal dan Wahyu
Dalam teologi Islam masalah pokok yang dibahas adalah
masalah ke-Tuhanan dan kewajiban-kewajiban manusia kepada Tuhan. Akal yang ada
pada manusia dan wahyu dari Tuhan merupakan alat untuk mendapatkan pengetahuan
tentang kedua masalah tersebut. Akal, dengan daya yang ada pada manusia
berusaha untuk sampai kepada Tuhan, dan dengan rahmat dan kasih sayang Tuhan,
wahyu diturunkan melalui para Rasul untuk menolong manusia dari kelemahan dan
kekurangannya. Konsepsi ini dapat digambarkan sebagi Tuhan Maha Tinggi di
puncak alam wujud, dan manusia yang lemah berada di bawah.
Konsepsi
ini merupakan sistem teologi yang dapat diterapkan pada aliran-aliran teologi
yang berpendapat bahwa akal manusia dapat sampai kepada Tuhan. Akan tetapi,
yang menjadi persoalan, sampai dimana kemampuan manusia dapat mengetahui Tuhan
dan kewajiban-kewajiban manusia terhadap Tuhan dan sampai seberapa jauh
persoalan wahyu dalam kedua hal tersebut di atas.
Joesoef
(1997: 52) berpendapat bahwa aliran Mu’tazilah itu bertitik-tolak pada kepasstian
memahamkannya secara logis dan rasional. Cara aliran Mu’tazilah memahamkannya
itu merupakan kekuatan yang tertahankan. Adapun persoalan-persoalan yang
dipermasalahkan Mu’tazilah dapat dirumuskan sebagai berikut:
Ø Masalah
mengetahui Tuhan
Ø Masalah
kewajiban berterima kasih kepada Tuhan
Ø Masalah
mengetahui baik dan jahat
Ø Masalah
kewajiban mengerjakan yang baik dan menjauhi yang jahat.
Aliran Mu’tazilah berpendapat bahwa
keempat masalah di atas dapat dicapai melalui akal, meskipun kemampuan akal
terbatas dan tidak sempurna, tetapi secara garis besar akal dapat sampai
kepadanya, hanya hal-hal yang secara terinci diperlukan wahyu yang dibawa oleh
para Rasul untuk menyempurnakan kekurangan dan kelemahan akal. Namun wahyu hanya
bersifat menguatkan apa yang telah diketahui oleh akal, dan memberikan
perincian terhadap pengetahuan yang telah dicapai oleh akal. Misalnya akal
manusia dapat sampai pada mengetahui kewajiban manusia berterima kasih kepada
Tuhan, tetapi tidak tahu bagaimana cara berterima kasih kepada Tuhan tersebut,
bagaimana cara orang mengerjakan shalat, haji dan sebagainya. Dalam hal inilah
peranan wahyu sangat diperlukan.
Menurut
Mu’tazilah akal hanya dapat mengetahui pokok-pokok dari garis besarnya saja,
adapun yang berkenaan dengan perincian pelaksanaan, akal tidak memiliki
kesanggupan untuk itu, karena itu wahyu diperlukan. Manusia tidak dapat
mengetahui semua hal yang baik dan yang buruk, melainkan hanya mengetahui
sebagian saja. Oleh karena itu, untuk menyempurnakan pengetahuan tentang baik
dan buruk diperlukan wahyu. Dapat disimpulkan, bahwa fungsi wahyu menurut Mu’tazilah
adalah sebagai berikut:
1. Menyempurnakan
pengetahuan manusia tentang baik dan buruk sehingga ada wajib al-aqliyah, yaitu
kewajiban-kewajiban yang dapat diketahui melalui akal, dan ada wajib
al-syarfiyyah, yaitu kewajiban-kewajiban yang hanya diketahui melalui wahyu.
Demikian pula ada manakir al-aqliyah, yaitu larangan-larangan yang dapat
diketahui melalui akal, dan ada pula manakir al-syar’iyyah, yaitu
larangan-larangan yang hanya diketahui melalui wahyu.
2. Memberi
penjelasan tentang perincian hukaman dan upah yang akan diterima di akhirat
nanti.
3. Mengingatkan
manusia dari kelengan dan mempercepat atau memperpendek jalan untuk mengetahui
Tuhan.
E. Hal
yang Bertentangan antara Mu’tazilah dan Sunni
Mu’tazilah mempunyai asas atau landasan yang selalu
dipegang erat oleh mereka, bahkan di atasnya-lah prinsip-prinsip mereka
dibangun. Asas atau landasan itu mereka sebut dengan Al-Ushulul Khomsah (lima landasan pokok). Dalam
lima ajarannya,
ada hal-hal yang bertentangan dengan ajaran Sunni. Adapun rinciannya sebagai
berikut:
·
Landasan
Pertama: At-Tauhid
At-Tauhid adalah mengingkari dan meniadakan sifat-sifat
Allah, dengan dalil bahwa menetapkan sifat-sifat tersebut berarti telah
menetapkan untuk masing-masingnya tuhan, dan ini suatu kesyirikan kepada Allah,
menurut mereka (Firaq Mu’ashirah, 2/832). Oleh karena itu mereka menamakan diri
dengan Ahlut-Tauhid atau Al-Munazihuuna lillah (orang-orang yang mensucikan
Allah).
Ø
Bantahan:
1. Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Dalil ini sangat lemah, bahkan menjadi runtuh dengan adanya dalil sam’i (naqli) dan ‘aqli yang menerangkan tentang kebatilannya. Sesungguhnya adzab Rabbmu sangat dahsyat. Sesungguhnya Dialah yang menciptakan (makhluk) dari permulaan dan menghidupkannya (kembali), Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Pengasih, Yang mempunyai ‘Arsy lagi Maha Mulia, Maha Kuasa berbuat apa yang dikehendaki-Nya.” (Al-Buruuj: 12-16).
1. Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Dalil ini sangat lemah, bahkan menjadi runtuh dengan adanya dalil sam’i (naqli) dan ‘aqli yang menerangkan tentang kebatilannya. Sesungguhnya adzab Rabbmu sangat dahsyat. Sesungguhnya Dialah yang menciptakan (makhluk) dari permulaan dan menghidupkannya (kembali), Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Pengasih, Yang mempunyai ‘Arsy lagi Maha Mulia, Maha Kuasa berbuat apa yang dikehendaki-Nya.” (Al-Buruuj: 12-16).
سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ
اْلأَعْلَى0 الَّذِي خَلَقَ فَسَوَّى0 وَالَّذِيْ قَدَّرَ فَهَدَى0 وَالَّذِي
أَخْرَجَ الْمَرْعَى0 فَجَعَلَه غُثَآءً أَحْوَى
“Sucikanlah Nama Rabbmu Yang Maha Tinggi, Yang Menciptakan dan Menyempurnakan (penciptaan-Nya), Yang Menentukan taqdir (untuk masing-masing) dan Memberi Petunjuk, Yang Menumbuhkan rerumputan, lalu Ia jadikan rerumputan itu kering kehitam-hitaman.” (Al-A’la: 1-5). Adapun dalil ‘aqli: bahwa sifat-sifat itu bukanlah sesuatu yang terpisah dari yang disifati, sehingga ketika sifat-sifat tersebut ditetapkan maka tidak menunjukkan bahwa yang disifati itu lebih dari satu, bahkan ia termasuk dari sekian sifat yang dimiliki oleh dzat yang disifati tersebut. Dan segala sesuatu yang ada ini pasti mempunyai berbagai macam sifat … “(Al-Qawa’idul-Mutsla, hal. 10-11)
“Sucikanlah Nama Rabbmu Yang Maha Tinggi, Yang Menciptakan dan Menyempurnakan (penciptaan-Nya), Yang Menentukan taqdir (untuk masing-masing) dan Memberi Petunjuk, Yang Menumbuhkan rerumputan, lalu Ia jadikan rerumputan itu kering kehitam-hitaman.” (Al-A’la: 1-5). Adapun dalil ‘aqli: bahwa sifat-sifat itu bukanlah sesuatu yang terpisah dari yang disifati, sehingga ketika sifat-sifat tersebut ditetapkan maka tidak menunjukkan bahwa yang disifati itu lebih dari satu, bahkan ia termasuk dari sekian sifat yang dimiliki oleh dzat yang disifati tersebut. Dan segala sesuatu yang ada ini pasti mempunyai berbagai macam sifat … “(Al-Qawa’idul-Mutsla, hal. 10-11)
2. Menetapkan sifat-sifat Allah tanpa menyerupakannya dengan sifat
makhluq bukanlah bentuk kesyirikan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah
berkata dalam Ar-Risalah Al-Hamawiyah: “Menetapkan sifat-sifat Allah tidak termasuk
meniadakan kesucian Allah, tidak pula menyelisihi tauhid, atau menyamakan Allah
dengan makhluk-Nya.” Bahkan ini termasuk konsekuensi dari tauhid al-asma
wash-shifat. Sedangkan yang meniadakannya, justru merekalah orang-orang yang
terjerumus ke dalam kesyirikan. Karena sebelum meniadakan sifat-sifat Allah
tersebut, mereka terlebih dahulu menyamakan sifat-sifat Allah dengan sifat
makhluk-Nya. Lebih dari itu, ketika mereka meniadakan sifat-sifat Allah yang
sempurna itu, sungguh mereka menyamakan Allah dengan sesuatu yang penuh
kekurangan dan tidak ada wujudnya. Karena tidak mungkin sesuatu itu ada namun
tidak mempunyai sifat sama sekali. Oleh karena itu Ibnul-Qayyim rahimahullah di
dalam Nuniyyah-nya menjuluki mereka dengan ‘Abidul-Ma’duum (penyembah sesuatu
yang tidak ada wujudnya). Atas dasar ini mereka lebih tepat disebut dengan
Jahmiyyah, Mu’aththilah, dan penyembah sesuatu yang tidak ada wujudnya.
·
Landasan
kedua: Al-‘Adl (keadilan)
Keadilan adalah keyakinan bahwasanya kebaikan itu datang
dari Allah, sedangkan kejelekan datang dari makhluk dan di luar kehendak Allah.
وَلاَ يَرْضَى لِعِبَادِهِ
الْكُفْرَ
“Dan Dia tidak meridhai kekafiran bagi hamba-Nya.” (Az-Zumar: 7)
Menurut mereka kesukaan dan keinginan merupakan kesatuan yang tidak
bisa dipisahkan. Sehingga mustahil bila Allah tidak suka terhadap kejelekan,
kemudian menghendaki atau menginginkan untuk terjadi (mentaqdirkannya). Oleh
karena itu mereka menamakan diri dengan Ahlul-‘Adl atau Al-‘Adliyyah.
Ø
Bantahan:
1. Asy-Syaikh Yahya bin Abil-Khair Al-‘Imrani t berkata: “Kita tidak sepakat bahwa kesukaan dan :Ikeinginan itu satu. Dasarnya adalah firman Allah
1. Asy-Syaikh Yahya bin Abil-Khair Al-‘Imrani t berkata: “Kita tidak sepakat bahwa kesukaan dan :Ikeinginan itu satu. Dasarnya adalah firman Allah
فَإِنَّ اللهَ لاَ يُحِبُّ
الْكَافِرِينَ
“Maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir.” (Ali
‘Imran: 32)
Padahal kita semua tahu bahwa Allah-lah yang menginginkan adanya
orang-orang kafir tersebut dan Dialah yang menciptakan mereka. (Al-Intishar
Firraddi ‘Alal- Mu’tazilati Qadariyyah Al-Asyrar, 1/315). Terlebih lagi Allah
telah menyatakan bahwasannya apa yang dikehendaki Idan dikerjakan hamba tidak lepas dari kehendak dan ciptaan-Nya.
Allah berfirman:
وَمَا تَشَآءُونَ إِلاَّ
أَنْ يَشَآءَ اللهُ
“Dan kalian tidak akan mampu menghendaki (jalan itu), kecuali bila
dikehendaki Allah.” (Al-Insan: 30)
وَاللهُ خَلَقَكُمْ وَمَا
تَعْمَلُونَ
“Padahal Allah-lah yang menciptakan kalian dan yang kalian perbuat.”
(Ash-Shaaffaat: 96)
Dari sini kita tahu, ternyata istilah keadilan itu mereka
jadikan yang merupakan bagianIsebagai kedok untuk mengingkari kehendak Allah . Atas dasar inilah mereka lebih pantas
disebutIdari taqdir Allah dengan Qadariyyah, Majusiyyah, dan
orang-orang yang zalim.
·
Landasan
Ketiga: Al-Wa’du Wal-Wa’id
Adapun yang dimaksud dengan landasan ini adalah bahwa
wajib bagi Allah untuk memenuhi janji-Nya (al-wa’d) bagi pelaku kebaikan agar
dimasukkan ke dalam Al-Jannah, dan melaksanakan ancaman-Nya (al-wa’id) bagi
pelaku dosa besar (walaupun di bawah syirik) agar dimasukkan ke dalam An-Naar,
kekal abadi di dalamnya, dan tidak boleh bagi Allah untuk menyelisihinya.
Karena inilah mereka disebut dengan Wa’idiyyah.
Ø
Bantahan:
1. Seseorang yang beramal shalih (sekecil apapun) akan mendapatkan pahalanya (seperti yang dijanjikan Allah) sebagai karunia dan nikmat dari-Nya. Dan tidaklah pantas bagi makhluk untuk mewajibkan yang , karena termasuk pelecehan terhadapIdemikian itu kepada Allah Rububiyyah-Nya dan sebagai bentuk keraguan terhadap firman-Nya:
1. Seseorang yang beramal shalih (sekecil apapun) akan mendapatkan pahalanya (seperti yang dijanjikan Allah) sebagai karunia dan nikmat dari-Nya. Dan tidaklah pantas bagi makhluk untuk mewajibkan yang , karena termasuk pelecehan terhadapIdemikian itu kepada Allah Rububiyyah-Nya dan sebagai bentuk keraguan terhadap firman-Nya:
إِنَّ اللهَ لاَ يُخْلِفُ
الِمْيَعادَ
“Sesungguhnya Allah tidak akan menyelisihi janji (-Nya).” (Ali
‘Imran: 9)
Bahkan Allah mewajibkan bagi diri-Nya sendiri sebagai keutamaan untuk para hamba-Nya.
Bahkan Allah mewajibkan bagi diri-Nya sendiri sebagai keutamaan untuk para hamba-Nya.
Adapun orang-orang yang mendapatkan ancaman dari Allah karena dosa
besarnya (di bawah syirik) dan meninggal dunia dalam keadaan seperti itu, maka
sesuai dengan kehendak Allah. Dia Maha berhak untuk melaksanakan ancaman-Nya
dan Maha berhak pula untuk tidak melaksanakannya, karena Dia telah mensifati
diri-Nya dengan Maha Pemaaf, Maha Pemurah, Maha Pengampun, Maha Pengasih lagi
Maha Penyayang.
Terlebih lagi Dia telah menyatakan:
Terlebih lagi Dia telah menyatakan:
إِنَّ اللهَ لاَ يَغْفِرُ
أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُوْنَ ذاَلِكَ لِمَنْ يَشَآء
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik (bila
pelakunya meninggal dunia belum bertaubat darinya) dan mengampuni dosa yang di
bawah (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” (An-Nisa: 48) (Diringkas
dari kitab Al-Intishar Firraddi ‘Alal-Mu’tazilatil-Qadariyyah Al-Asyrar, 3/676,
dengan beberapa tambahan).
2. Adapun pernyataan mereka bahwa pelaku dosa besar (di bawah
syirik) kekal abadi di An-Naar, maka sangat bertentangan dengan firman Allah
dalam Surat An-Nisa ayat 48 di atas, dan juga bertentangan dengan sabda
Rasulullah yang artinya: “Telah datang Jibril kepadaku dengan suatu kabar
gembira, bahwasanya siapa saja dari umatku yang meninggal dunia dalam keadaan
tidak syirik kepada Allah niscaya akan masuk ke dalam al-jannah.” Aku (Abu
Dzar) berkata: “Walaupun berzina dan mencuri?” Beliau menjawab: “Walaupun
berzina dan mencuri.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari shahabat Abu Dzar
Al-Ghifari). Meskipun mungkin mereka masuk neraka lebih dahulu.
·
Landasan
Keempat: Suatu keadaan di antara dua keadaan
Adapun yang mereka maksud adalah, bahwasannya keimanan
itu satu dan tidak bertingkat-tingkat, sehingga ketika seseorang melakukan dosa
besar (walaupun di bawah syirik) maka telah keluar dari keimanan, namun tidak
kafir (di dunia). Sehingga ia berada pada suatu keadaan di antara dua keadaan (antara
keimanan dan kekafiran).
Ø
Bantahan:
1.Bahwasannya keimanan itu bertingkat-tingkat, bertambah dengan ketaatan dan berkurang :Idengan kemaksiatan, sebagaimana firman Allah:
1.Bahwasannya keimanan itu bertingkat-tingkat, bertambah dengan ketaatan dan berkurang :Idengan kemaksiatan, sebagaimana firman Allah:
وَ إِذَا تُلِيَتْ
عَلَيْهِمْ ءَايَاتُه زَادَتْهُمْ إِيْمَانًا
“Dan jika dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, maka bertambahlah
keimanan mereka.” (Al-Anfal: 2)
وَإِذَا مَا أُنْزِلَتْ سُوْرَةٌ فَمِنْهُمْ مَنْ يَقُوْلُ أَيُّكُمْ زَادَتْهُ هَذِهِ إِيْمَانًا فَأَمَّا الَّذِيْنَ آمَنُوا فَزَادَتْهُمْ إِيْمَانًا وَهُمْ يَسْتَبْشِرُوْنَ۰وَأَمَّا الَّذِيْنَ فِيْ قُلُوْبِهِمْ مَرَضٌ فَزَادَتْهُمْ رِجْسًا إِلَى رِجْسِهِمْ وَمَاتُوْا وَهُمْ كَافِرُوْنَ
“Dan apabila diturunkan suatu surat ,
maka di antara mereka (orang-orang munafik) ada yang berkata: ‘Siapakah di
antara kamu yang bertambah imannya dengan (turunnya) surat ini?’ Adapun orang-orang yang beriman,
maka surat ini
menambah imannya, sedang mereka merasa gembira. Dan adapun orang-orang yang di
dalam hati mereka ada penyakit, maka dengan surat itu bertambah kekafiran mereka, di
samping kekafirannya (yang telah ada) dan mereka mati dalam keadaan kafir.” (At-Taubah:
124-125)
وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيْمُ
رَبِّ أَرِنِي كَيْفَ تُحْيِي الْمَوْتَى قَالَ أَوَلَمْ تُؤْمِنْ قَالَ بَلَى
وَلَكِنْ لِيَطْمَئِنَّ قَلْبِي
“Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata: “Ya Tuhanku, perlihatkanlah
padaku bagaimana Engkau menghidupkan orang mati”. Allah berfirman: “Belum
yakinkah kamu?” Ibrahim menjawab: “Aku telah meyakininya, akan tetapi agar
hatiku tetap mantap (dengan imanku)…” (Al-Baqarah: 260)
Rasulullah bersabda: “Keimanan itu Rasulullah (mempunyai) enam puluh sekian atau tujuh
puluh sekian cabang/tingkat, yang paling utama ucapan “Laa ilaaha illallah”,
dan yang paling rendah menyingkirkan gangguan dari jalan, dan sifat malu itu
cabang dari iman.” (HR Al-Bukhari dan Muslim, dari shahabat Abu Hurairah z)
2. Atas dasar ini, pelaku dosa besar (di bawah syirik) tidaklah bisa
dikeluarkan dari keimanan secara mutlak. Bahkan ia masih sebagai mukmin namun
kurang iman, karena Allah masih menyebut dua golongan yang saling bertempur
(padahal ini termasuk dosa besar) dengan sebutan orang-orang yang beriman, sebagaimana
dalam firman-Nya:
“Dan jika ada dua golongan dari orang-orang yang beriman saling bertempur, maka damaikanlah antara keduanya…”(Al-Hujurat: 9)
“Dan jika ada dua golongan dari orang-orang yang beriman saling bertempur, maka damaikanlah antara keduanya…”(Al-Hujurat: 9)
·
Landasan
Kelima: Amar Ma’ruf Nahi Mungkar
Di antara kandungan landasan ini adalah wajibnya
memberontak terhadap pemerintah (muslim) yang zalim.
Ø
Bantahan:
Memberontak terhadap pemerintah muslim yang zalim merupakan prinsip sesat yang bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah. Allah telah berfirman:
Memberontak terhadap pemerintah muslim yang zalim merupakan prinsip sesat yang bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah. Allah telah berfirman:
يَآءَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِى الأَمْرِ مِنْكُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri (pimpinan) di antara kalian.” (An-Nisa: 59)
Rasulullah bersabda: “Akan datang setelahku para pemimpin yang tidak
mengikuti petunjukku dan tidak menjalankan sunnahku, dan sungguh akan ada di
antara mereka yang berhati setan namun bertubuh manusia.” (Hudzaifah berkata):
“Wahai Rasulullah, apa yang kuperbuat jika aku mendapati mereka?” Beliau
menjawab: “Hendaknya engkau mendengar (perintahnya) dan menaatinya, walaupun
punggungmu dicambuk dan hartamu diambil.” (HR. Muslim, dari shahabat Hudzaifah
bin Al-Yaman
v Tabel
perbandingan antara ajaran Mu’tazilah dan Sunni, antara lain:
No.
|
Aspek Perbandingan
|
Aliran Mu’tazilah
|
Aliran Sunni
|
1.
|
Pelaku Dosa Besar
|
Dosa besar adalah segala perbuatan
yang ancamannya disebutkan secara tegas dalam nas. Pelaku dosa besar disebut
al-manzilah bain al-manzilatain (antara mukmin dan kafir) atau fasiq. Jika
meninggal dunia dan belum sempat bertaubat, maka kekal di neraka dengan siksa
lebih ringan daripada orang kafir.
|
Pelaku dosa besar masih tetap
dianggap sebagai mukmin atau orang yang beriman karean adanya keimanan dalam
dirinya. Mereka dikategorikan sebagai
mukmin yang ‘ashi (berbuat maksiat).Akan tetapi, jika dosa besar
itu dilakukannya dengan anggapan bahwa hal tersebut halal dan tidak meyakini
keharamannya, maka ia dipandang kafir. Balasan di akhrat bagi para pelaku
dosa besar yang belum sempat bertaubat, bergantung pada kebijakan Tuhan
sesuai dengan ukuran dosa yang diakukannya. Ia tidak akan kekal dalam
neraka.setelah penyiksaan selesai, maka akan dimasukkan ke dalam surga. Hal
ini karena Tuhan telah menjanjikan bahwa perbuatan dosa besar selain syirik,
tidak menjadikan seseorang kafir atau murtad.
|
2.
|
Iman dan Kufur
|
Ma’rifah (pengetahuan dan akal)
sebagai unsur pokok yang rasional dari iman berimplikasi pada setiap
penolakan keimanan berdasarkan otoritas orang lain (al-iman bi at-taqlid).
Segala pengetahuan dapat diperoleh dengan perantaraan akal dan segala
kewajiban dapat diketahui dengan pemikiran yang mendalam. Mu’tazilah sangat
menekankan pentingnya pemikiran logis atau penggunaan akal bagi keimanan.
Iman seseorang dikatakan benar, apabila didasarkan pada akal bukan karena
taqlid. Mu’tazilah memasukkan unsur amal sebagai unsur penting dari iman
(al-amal juz’un min al-iman).
|
|
3.
|
Perbuatan Tuhan
|
Paham adanya kewajiban Tuhan yaitu
kewajiban tidak memberikan beban di luar kemampuan manusia, kewajiban
mengirimkan asul, kewajiban menepati janji dan ancaman.
|
Dalam Al-Qur’an dikatakan bahwa
Tuhan tidak membebani manusia dengan kewajiban-kewajiban yang tak terpikul.
Adanya pengiriman rasul tidaklah bersifat wajib dan hanya bersifat mungkin,
karena hal itu sesuia dengan kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Tuhan akan
memberikan balasan terhadap orang yang berbuat baik dan buruk sesuai dengan
kehendak mutlak Tuhan.
|
4.
|
Perbuatan Manusia
|
Perbuatan manusia bukanlah
diciptakan Tuhan dalam diri manusia, tetapi manusia sendirikah ynag
mewujudkan perbuatannya. Aliran Mu’tazilah tidak mengingkari ilmu azali Allah
yang mengetahui segala apa yang terjadi dan diperbuat manusia. Menurut
Mu’tazilah, manusia terlibat dalam penentuan ajal, karena ajal ada dua macam.
Ajal yang pertama yaitu ajal yang memang berasa dari kekuasaan mutlak Tuhan
untuk menentukannya, sedangkan yang kedua adalah ajal yang diperbuat oleh
manusia itu sendiri (dapat dipercepat atau diperlambat).
|
Perbuatan manusia diciptakan oleh
Allah sedangkan daya manusia tidak mempunyai efek untuk mewujudkannya. Jadi,
perbuatan adalah sesuatu hal ynag diciptakan pula dalam diri manusia oleh
Allah dan merupakan kasb (perolehan) bagi manusia. Kasb merupakan penyertaan
perbuatan dengan daya manusia yang baru. Ini berimplikasi bahwa perbuatan
manusia dibarengi oleh daya kehendaknya, dan bukan atas kehendaknya.
|
5.
|
Sifat-sifat Tuhan
|
Aliran Mu’tazilh yang memberikan
daya besar pada akal berpendapat bahwa Tuhan tidak dapat dikatakan mempunyai
sifat-sifat jasmani. Bagi meraka. Tuhan tetap mengetahui, berkuasa, dan
sebagainya, tetapi bukan dengan sifat yang sebenarnya. Semua itu sudah
nerupakan dzat tau esensi Tuhan.
|
Allah mempunyai sifat-sifat ynag
unik karenanya tidak dapat dibandingkan dengan sifat manusia. Sifat
mengandung arti tetap dan kekal. Dalam mempertahankan kekuasaan dan kehendak
mutlak Tuhan, Tuhan pasti mempunyai sifat-sifat yang kekal.
|
6.
|
Kehendak Mutlak Tuhan dan Keadilan
Tuhan
|
Kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan berlaku
dalam jalur-jalur yang berlaku di tengah alam semesta. Perbuatan Tuhan
tidaklah untuk kepentinagn dirinya sendiri, tetapi untuk kepentingan makhluq
dan perbuatannya selalu baik. Keadilan Tuhan terletak pada keharusan adanya
tujuan dalm perbuatan-perbuatn-Nya, yaitu kewajiban berbuat baik dan terbaik
bagi makhluq dan member kebebasan kepada manusi. Adapun kehendak mutlak-Nya
dibatasi oleh keadilan Tuhan itu sendiri.
|
Golongan Sunni memberi makna
keadilan Tuhan dengan pemahaman bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan mutlak
terhadap makhluq-Nya dan dapat berbuat sekehendak hati-Nya. Akan tetapi,
Tuhan tidak akan berbuat dzalim pada umat-Nya. Tuhan adil mengandung arti
bahwa segala perbuatan Tuhan adalah baik dan tidak mampu untuk berbuat buruk
serta tidak mengabaikan kewajiban-kewajiban-Nya terhadap manusia. Oleh sebab
itu, Tuhan tidak akan memberi beban yang terlalu berat kepada manusia dan
tidak sewenang-wenang dalam memberikan hukuman. Tuhan akan memberi pahala
(upah) atau hukuman kepada umat manusia sesuai dengan perbuatannya. Keadilan
Tuhan dalam konsep Sunni terletak pada kehendak mutlak-Nya
|
7.
|
Kedudukan
Al-Qur’an
|
Menurut
Mu’tazilah Al-Quran itu makhlûq.
Kaum Mu`tazilah telah menggoncangkan umat Islam sejak dari tahun ke-2 hingga tahun ke-3 Hijriyah dengan mengatakan al-Quran itu makhlûq, bukan kalâm Allah yang qadîm. Ini adalah lanjutan dari kepercayaan mereka bahwa Allah tidak memiliki sifat. |
Pendapat
ini jelas bertentangan dengan pendapat Ahlussunnah Wal Jamaah yang menyatakan
bahwa al-Quran adalah kalâm Allah, dan kalâm itu adalah sifat Allah yang
qadîm yang wujud bersama dengan Zat Allah yang qadîm, jadi al-Quran juga
qadîm. Kalâm yang qadîm itu diperdengarkan kepada Jibril, lalu Jibril
membacakannya kepada Nabi Muhammad SAW sebagai wahyu. Kemudian Nabi
membacakannya kepada sahabat-sahabatnya, lalu mereka menulisnya, maka jadilah
ia berhuruf dan bersuara seperti yang nampak, kita dengar dan baca sekarang.
Pada hakikatnya kalâm itu sesuatu yang abstrak, yang tidak dapat dilihat.
Al-Quran itu mempunyai madlûl yang sama dengan madlûl kalâm Allah yang azalî.
|
8.
|
Keberadaan
Kiraman Katibin (Malaikat Penjaga Surga dan Neraka)
|
Kirâman
Kâtibin tidak ada
Kaum Mu`tazilah juga tidak mengakui akan adanya malaikat Kirâman Kâtibîn yang bernama Raqîb dan `Atîd yang bertugas menulis amalan manusia sama ada baik atau jahat. Mereka berpendapat bahwa ilmu Allah sangat luas dan meliputi semuanya. Tidak ada sesuatupun yang tersembunyi dari pada-Nya. Dengan itu tidak perlu bagi Allah mengambil pembantu untuk menulis segala amalan manusia. |
Ahlussunnah
Wal Jamaah menolak pendapat ini karena jelas bertentangan dengan nash
al-Quran. Firman Allah yang artinya “Sesungguhnya bagi kami itu ada
penjaga-penjaga yaitu malaikat kirâman kâtibîn.” Berdasarkan ini, maka Ahlussunnah
Wal Jamaah berpendapat bahwa ada dua malaikat yaitu Raqîb dan `Atîd yang
duduk di kiri dan kanan manusia yang bertugas untuk menulis semua perbuatan
manusia sama ada baik atau jahat.
|
BAB
III
PENUTUP
A. Simpulan
Ajaran-ajaran dasar golongan
Mu’tazilah berasal dari Ibn Atha’, pokok-pokok pikiran itu dirumuskan dalam
ajarannya yang disebut “Al-ushul al-Khamsah”, atau lima ajaran dasar yaitu At-Tauhid (pengesahan Tuhan), Al-‘adl
(keadilan Tuhan), Al-waad wa al-wa’id (janji dan ancaman Tuhan), Al-manzilah bain al-manzilatain (posisi di
antara dua posisi), dan Al-‘amr bi
al-ma’ruf wa al-nahi an al-munkar (menyeru kepada kebaikan dan mencegah
kemungkaran).
Kaum Mu`tazilah menitik-beratkan
segala yang baik dan buruk suatu perkara itu dapat ditentukan oleh akal,
sedangkan aliran Sunni atau Ahlussunnah Wal Jamaah tetap menggunakan akal
fikiran, tetapi hanya untuk meneliti dan menyelaraskan atau mencari hikmah dan
`illat dari hukum-hukum Allah. Bukan untuk menetapkan hukum sebagaimana yang
dipraktekkan oleh kaum Mu`tazilah yang menjadikan akal dan kaidah-kaidah mantîq
filsafat sebagai landasan hukum mereka.
Kaum Mu`tazilah menganggap Allah
hanya mempunyai zat-Nya saja, artinya Tuhan melihat dengan zat-Nya dan
berkata-kata juga dengan zat-Nya. Mereka mengatakan kalau Allah bersifat, ini
bermakna bahwa Allah itu dua. Satunya Allah zat dan yang satu lagi Tuhan Sifat.
Dan ini bersalahan dengan konsep tauhid. Pendapat ini ditentang oleh
Ahlussunnah Wal Jamaah yang menyatakan bahwa Allah memiliki sifat, bukan satu
atau dua tetapi banyak. Ada
yang wajib, ada yang jâ’iz dan ada yang mustahil.
Selain itu, dalam penetapan
kedudukan pelaku dosa besar, Mu’tazilah bependapat bahwa para pelaku dosa besar
yang belum sempat bertobat sebelum kematian menjemputnya, mereka kekal di
neraka dan berada pada posisi antara kafir dan mukmin. Hal ini jelas
bertentangan dengan ajaran Sunni ynag mengatakan bahwa para pelaku dosa besar
itu (selain syirik), tidak akan kekal di neraka. Kematian para pelaku dosa
besar itu dalam keadaan mukmin ashi’. Setelah masa hukuman habis, mereka akan
masuk surga.
Demikianlah kaum Mu`tazilah yang
paling kuat berpegang dengan kepintaran akal pikiran mereka, sehingga mereka
sanggup menolak beberapa nash karena bertentangan dengan akal dan tidak sesuai
dengan pemikiran mereka. Adanya berbagai pertentangan antara paham Mu’tazilah
dan Sunni, semakin menuntut kita sebagai umat muslim untuk kritis dalam
mengetahui aliran yang benar sesuai Al- Qur’an
dan Hadits, yaitu Ahlu Sunnah Wal Jama’ah (Sunni).
B. Saran
Semoga
makalah ini dapat menambah wawasan kita, khususnya bagi generasi muda Islam Indonesia .
Keberadaan makalah ini, diharapkan dapat membentuk jiwa kekritisan dalam diri
setiap pembaca, khususnya mahasiswa muslim. Kita sebagai generasi muda muslim,
sebaiknya kita mampu mengetahui dan membandingkan ajaran-ajaran atau
doktrin-doktrin yang berkembang dalam dunia Islam, khususnya antara Mu’tazilah
dan Sunni, seperti yang dipaparkan dalam makalah ini. Kami berharap, makalah
ini dapat bermanfa’at dan meningkatkan ilmu pengetahuan kita mengenai aliran
atau golongan dalam Islam. Semoga kita selalu berada dalam golongan Ahlu Sunnah
Wal Jama’ah sebagai golongan yang disarankan oleh Rasulullah.