Let's Translate

Rabu, 25 April 2012

Perbedaan Aliran Mu'tazilah dan Sunni


BAB I
PENDAHULUAN

    A.   Latar Belakang

Dalam sebuah perkumpulan, sering kita jumpai berbagai macam perbedaan pendapat di antara mereka. Adanya keberagaman pandangan mengenai sesuatu menjadi faktor terutama terjadinya konflik di dalamnya, hingga menimbulkan suatu perpecahan di antara mereka. Peristiwa seperti itu sudah terjadi sejak zaman khalifah dulu. Munculnya berbagai macam golongan dalam agama islam, disebabkan oleh adanya perbedaan pandangan atau pola pikir terhadap suatu permasalahan. Semua ini terjadi juga dikarenakan adanya sebuah perpolitikan di antara mereka.
Di dalam makalah ini, kami akan membahas mengenai golongan atau aliran mu’tazilah. Dalam kemunculan golongan mu’tazilah ini, ada berbagai versi yang mengirinya. Salah satu versi menyebutkan bahwa aliran mu’tazilah ini telah ada sejak zaman pertikaian politik antara ‘Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Golongan yang tidak mau berintervensi dalm pertikaian tersebut dikenal dengan nama Mu’tazilah. Mereka menjauhkan diri ke Kharbita (i’tazalat ila kharbita). Terjadinya peristiwa itu, menyimbolkan bahwa golongan Mu’tazilah adalah golongan yang netral dalam politik. Dengan demikian, kata mu’tazilah dan i’tazala telah dipakai kira-kira seratus tahun yang lalu sebelum adanya peristiwa Wasil dengan Hasan Al-Basri (versi yang terkenal).
Pembahasan lebih mendalam mengenai doktrin-doktrin Mu’tazilah dan hal-hal yang bertentangan dengan Sunni akan kami bahas dalam makalah ini.  Semoga bermanfa’at dan dapat menambah wawasan kita mengenai berbagai golongan dalam Islam, khususnya Mu’tazilah.

   B.   Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah ynag dibahas dalam makalah yang berjudul “Doktrin Aliran Mu’tazilah dan Hal yang Bertentangan dengan Sunni” adalah sebagai berikut:
    a.       Bagaimana asal-usul kemunculan golongan Mu’tazilah?
    b.      Bagaimana doktrin-doktrin ajaran Mu’tazilah?
    c.       Siapa sajakah tokoh dalam golongan Mu’tazilah?
    d.      Bagaimana pandangan Mu’tazilah mengenai peranan akal dan wahyu?
    e.       Bagaimanakah perbandingan ajaran atau pandangan antara Mu’tazilah dan Sunni?


    C.   Tujuan

Adapun tujuan dalam pembuatan makalah ynag berjudul “Doktrin Aliran Mu’tazilah dan Hal yang Bertentangan dengan Sunni” adalah sebagai berikut:
   a.       Untuk mengetahui asal-usul kemunculan golongan Mu’tazilah
   b.      Untuk mengetahui doktrin-doktrin ajaran Mu’tazilah
   c.       Untuk mengetahui tokoh-tokoh dalam golongan Mu’tazilah
   d.      Untuk mengetahui pandangan Mu’tazilah mengenai peranan akal dan wahyu
   e.       Untuk mengetahui perbandingan ajaran atau pandangan antara Mu’tazilah dan Sunni?
  
   D.   Manfa’at

Adapun manfa’at yang dapat kita peroleh dengan pembuatan makalah yang berjudul “Doktrin Aliran Mu’tazilah dan Hal yang Bertentangan dengan Sunni” adalah sebagai berikut:
   a.       Kita dapat mengetahui asal-usul kemunculan golongan Mu’tazilah    
   b.      Kita dapat mengetahui doktrin-doktrin ajaran Mu’tazilah
   c.       Kita dapat menegetahui tokoh-tokoh dalam golongan Mu’tazilah
   d.      Kita dapat mengetahui pandangan Mu’tazilah mengenai peranan akal dan wahyu
   e.       Kita dapat mengetahui perbandingan ajaran atau pandangan antara Mu’tazilah dan Sunni



BAB II
PEMBAHASAN
    
   A.   Asal-usul Kemunculan Golongan Mu’tazilah
Secara harfiah, kata Mu’tazilah berasal dari kata i’tazala yang berarti berpisah atau memisahkan diri, yang berarti juga menjauh atau menjauhkan diri. Sebenarnya, kemunculan kaum Mu’tazilah ini memiliki banyak versi. Salah satunya, adalah munculnya golongan Mu’tazilah yang dilatar belakangi oleh sebuah peristiwa pada Majelis Pengajian di Masjid Bashrah. Kelompok pemuja akal ini muncul di kota Bashrah (Irak) pada abad ke-2 Hijriyah, antara tahun 105-110 H, tepatnya di masa pemerintahan khalifah Abdul Malik bin Marwan dan khalifah Hisyam bin Abdul Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah mantan murid Al-Hasan Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha’ Al-Makhzumi Al-Ghozzal. Ia lahir di kota Madinah pada tahun 80 H dan mati pada tahun 131 H. Di dalam menyebarkan bid’ahnya, ia didukung oleh ‘Amr bin ‘Ubaid (seorang gembong Qadariyyah kota Bashrah) setelah keduanya bersepakat dalam suatu pemikiran bid’ah, yaitu mengingkari taqdir dan sifat-sifat Allah. (Lihat Firaq Mu’ashirah, karya Dr. Ghalib bin ‘Ali Awaji, 2/821, Siyar A’lam An-Nubala, karya Adz-Dzahabi, 5/464-465, dan Al-Milal Wan-Nihal, karya Asy-Syihristani hal. 46-48).
Dalam Majelis tersebut, timbul pertanyaan yang dikemukakan oleh Wasil Ibn ‘Atha dan temannya bernama ‘Amr Ibn Ubaid, yaitu tentang orang yang berdosa besar yang mati belum bertobat, apakah ia masih tetap mukmin sebagai mana pendapat golongan Murjiah, ataukah ia sudah menjadi kafir dalam arti keluar dari Islam (murtad) sebagaimana pendapat golongan Khawarij. Sebelum Hasan Al-Basri menjawab, Wasil mengemukakan pendapatnya bahwa orang yang berbuat dosa besar, mati sebelum ia bertobat, maka ia tidak mukmin lagi, tetapi tidak pula kafir, melainkan fasiq, berada pada tempat antara kafir dan mukmin (almanzilah bain al-manzilatain). Kemudian ia menjauhkan diri dari majelis Hasan Al-Basri, pergi ket tempat lain di Masjid. Atas peristiwa itu Hasan Al-Bisri mengatakan : “Wasil telah menjaukan diri dari kita (‘itazal’anna). Sikap Wasil ini diikuti oleh temannya yang bernama ‘Amr Ibn Ubaid. Maka keduanya dan pengikut-pentikutnya disebut “Mu’tazilah” (Al-Milal Wan-Nihal,hal.47-48 ), karena mereka menjauhkan diri dari faham umat Islam tentang orang yang berbuat dosa besar. Pertanyaan itu pun akhirnya dijawab oleh Al-Hasan Al-Bashri dengan jawaban Ahlussunnah Wal Jamaah: “Sesungguhnya pelaku dosa besar (di bawah dosa syirik) adalah seorang mukmin yang tidak sempurna imannya. Karena keimanannya, ia masih disebut mukmin dan karena dosa besarnya ia disebut fasiq (dan keimanannya pun menjadi tidak sempurna).” (Lihat kitab Lamhah ‘Anil-Firaq Adh-Dhallah, karya Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan, hal.42).
Golongan Mu’tazilah dikenal juga dengan nama-nama lain seperti ahl al-adl (golongan yang mempertahankan keadilan Tuhan) dan ahl al-tuahid wa al-adl (golongan yang mempertahankan kesamaan murni dan kedilan Tuhan).
  1. Ajaran-ajaran Dasar Mu’tazilah
Ajaran-ajaran dasar golongan Mu’tazilah berasal dari Ibn Atha’, pokok-pokok pikiran itu dirumuskan dalam ajarannya yang disebut “Al-ushul al-Khamsah”, atau lima ajaran dasar yaitu :
1.      At-Tauhid (pengesahan Tuhan)
2.      Al-‘adl (keadilan Tuhan)
3.      Al-waad wa al-wa’id (janji dan ancaman Tuhan)
4.       Al-manzilah bain al-manzilatain (posisi di antara dua posisi)
5.       Al-‘amr bi al-ma’ruf wa al-nahi an al-munkar (menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran)
Lima ajaran pokok tersebut memiliki berbagai penjelasan mengenai pikiran-pikiran dalam doktrin tersebut, yaitu:
1)      At-Tauhid (Ke-Esaan Tuhan)
Tauhid adalah dasar Islam pertama dan utama. Sebenarnya tauhid ini bukan milik golongan Mu’tazilah saja. Tetapi mereka menafsirkan sedemikian rupa dan mempertahankannya dengan sungguh-sungguh. Maka mereka menyebut diri mereka dengan ahl al-tauhid. At-tahuid berarti ke-Maha Esaan Tuhan. Menurut faham mereka Tuhan akan benar-benar Maha Esa, apabila Tuhan merupakan zat unik, tiada yang serupa dengan Dia, serupa dalam segala hal, dalam sifat-Nya, perbuatan-Nya, ciptaan-Nya dan sebagainya. Oleh karena itu mereka menolak faham antropormofisme, yang menggambarkan Tuhan dekat menyerupai makhluk-Nya. Tuhan tiada merupakan jisim atau syakhs,
Penolakan Mu’tazilah terhadap pendapat bahwa Tuha data dilihat oleh mata kepala merupakan konsekuensi logis dari penolakannya terhadap antropormofisme. Tuhan adalah immateri, tidak tersusun dari unsur, tidak terikat oleh ruang dan waktu, dan tidak berbentk. Adapun yang dapat dilihat adalah yang berbentuk dan memiliki ruang. Oleh sebab itu, kata melihat ditakwilkan dengan mengetahui (know) dalam surat Al-Qiyamah (75) ayat 22-23. 
Tuhan adalah zat yang qadim. Tiada sesuatu yang boleh qadim, selain Tuhan. Sejalan dengan ajaran ini, Mu’tazilah berpendapat dengan nafy ash-shifat atau peniadaan sifat Tuhan, dalam arti Tuhan mengetahui bukan dengan sifat, tetapi dengan dzat-Nya, Tuhan berkuasa dengan dzat-Nya, berkehendak dengan dzat-Nya. Dengan kata lain, Mu’tazilah meniadakan sifat Tuhan dalam arti sifat yang mempunyai wujud sendiri di luar zat Tuhan. Tiada berarti Tuhan tidak diberi sifat-sifat. Tuhan bagi mereka tetap maha Mengetahui, maha mendengar, maha hidup, maha kuasa dan sebagainya, tetapi semua ini tidak dapat dipisahkan dari dzat Tuhan. Berbagai macam sifat-sifat Tuhan tersebut merupakan bentuk esensi Tuhan.
2)      Al-‘Adl (Keadilan Tuhan)
Kalau dengan al-tauhid Mu’tazilah ingin mensucikan diri Tuhan dari persamaan dengan makhluk, maka dengan al-‘adl kaum Mu’tazilah ingin mensucikan dari perbuatan-perbuatan makhluk. Hanya Tuhanlah yang dapat berbuat adil. Ajaran bertujuan ingin menempatkan Tuhan benar-benar adil menurut sudut pandang manusia, karena alam semesta ini sesungguhnya diciptakan untk kepentingna umat manusia. Ajaran tentang keadilan ini berkaitan erat dengan beberapa hal, antara lain sebagai berikut:
a.       Perbuatan Manusia
Menurut Mu’tazilah, manusia melakukan dan menciptakan perbuatannya sendiri, terlepas dari kehendak dan kekuasaan Tuhan, baik secara langsung ataupun tidak. Manusia benar-benar bebas untuk menentukan pilihan perbuatannya, baik atau buruk. Tuhan berlepas diri dari perbuatan yang buruk.
b.      Berbuat Baik dan Terbaik
Dalam istilah arabnya, berbuat baik dan terbaik disebut ash-shalah wa al-ashlah. Maksudnya adalah kewajiban Tuhan untuk berbuat baik, bahkan terbaik bagi manusia. Menurut An-Nazzam, salah satu tokoh Mu’tazilah, Tuhan tidak dapat berbuat jahat. Konsep ini berkaitan dengan kebijaksanaan, kemurahan, dan kepengasihan Tuhan, yaitu sifat-sifat yang layak bagi-Nya.
c.       Mengutus Rosul
Mengutus Rasul kepada manusia merupakan kewajiban Tuhan, karena beberapa alasan, yakni:
·         Tuhan wajib berlaku baik kepada manusia dan hal itu tidak dapat terwujud, kecuali dengan mengutus Rasul kepada mereka.
·         Al-Qur’an secara tegas menyatakan kewajiban Tuhan untuk memberikan belas kasih kepada manusia (Q.S. Asy-Su’ara [26]: 29).  Cara terbaik untuk meksud tersebut adalah melalui pengutusan Rasul.
·         Tujuan diciptakannya manusia adalah untuk beribadah kepada-Nya. Dengan adanya pengutusan Rasul ini, diharapkan tujuan tersebut dapat tercapai.
3)      Al-waad wa al-wa’id (Janji dan Ancaman)
Dasar ajaran ini merupakan lanjutan dari ajaran tentang al-‘adl. Golongan Mu’tazilah yakin bahwa janji Tuhan akan memberikan upah atau pahala bagi orang yang berbuat baik, dan memberikan ancaman akan menyiksa orang yang berbuat jahat pasti dilaksanakan, karena sesuai dengan janji dan ancaman Tuhan. Siapa yang berbuat baik akan dibalas dengan kebaikan atau pahala, sebaliknya orang yang berbuat buruk akan dibalas dengan keburukan atau siksa.
Perbuatan Tuhan terikat dan dibatasi oleh janji-Nya sendiri, yaitu memberi pahala bagi surga bagi yang berbuat baik (al-muthi) dan mengancam dengan siksa neraka atas orang yang durhaka (al-ashi). Begitu pula dengan janji Tuhan untuk memberi pengampunan pada orang yang bertobat nasuha. Ajaran ini tampaknya mendorong manusia berbuat baik dan tidak melakukan perbuatan dosa.
4)      Al-Manzilah bain al-manzilatain (Posisi di antara dua posisi)
Prinsip ini sangat penting dalam ajaran Mu’tazilah, karena merupakan awal persoalan yang timbul dalam masalah teologi sehingga lahir golongan Mu’tazilah, yaitu persoalan orang yang berdosa besar, ia mati belum sempat bertobat, orang tersebut tidak mukmin dan tidak pula kafir, tetapi fasiq, suatu posisi diantara dua posisi. Golongan Khawarij berpendapat bahwa orang tersebut menjadi kafir dan akan kekal di neraka. golongan Mu’tazilah berpendapat bahwa orang tersebut tidak mukmin dan tidak kafir tetapi fasiq dan akan kekal di neraka, tetapi siksanya lebih ringan dari orang kafir.
5)      Al-amr bi al-ma’ruf wa al-nahi ‘an al-munkar (Perintah untuk berbuat baik dan larangan berbuat jahat).
Ajaran ini sebenarnya bukan hanya dimiliki oleh golongan Mu’tazilah saja, tetapi juga dimiliki oleh semua umat Islam. Perbedaan madzhab Mu’tazilah dengan madzhab yang lai mengenai ajaran kelima ini terletak pada tatanan pelaksanaannya. Menurut Mu’tazilah, jika memang diperlukan, kekerasan dapat ditempuh untuk mewujudkan ajaran tersebut, sejarahpun telah mencatat kekerasan yang pernah dilakukannya ketika menyiarkan ajaran-ajarannya. Sedangkan, golongan lain tidak perlu menggunakan kekerasan, cukup dengan penjelasan yang persuasif dan aplikatif.

  1.  Tokoh-tokoh Mu’tazilah
Perlu diketahui, aliran Mu’tazilah berpusat di Bashrah (Irak), dan cabangnya di Baghdad. Tokoh-tokoh Mu’tazilah banyak sekali, tetapi akan dikemukakan beberapa orang saja, antara lain :
  1. Wasil Ibn ‘Atha (80 – 131 H)
Wasil adalah pemuka dan pembina aliran Mu’tazilah sebagai telah disebutkan di atas, ia adalah pendiri dan eletak dasar ajaran Mu’tazilah yang dirumuskan dalam lima prinsip ajaran dasar (ushul al-khamsah). Pendapat-pendapatnya kemudian dimatangkan oleh tokoh-tokoh dan pemuka-pemuka datang kemudian seperti Abu al-Hudzail, Al-Nazhzham, Al-Jubbai dan sebagainya.
  1. Abu al-Hudzail al-‘Allaf (135 – 226 H)
Abu al-Hudzail termasuk tokoh Mu’tazilah di Basrah. Ia banyak mempelajari buku-buku Yunani dan banyak terpengaruh oleh buku-buku tersebut, dan karena dia maka Mu’tazilah mengalami perkembangan yang pesat. Di antara pendapat-pendapatnya adalah sebagai berikut :
·         Tentang ‘ardl. Dinamakan ‘ardl bukan karena mendatang pada benda-benda, karena banyak ‘ardl yang terdapat pada bukan benda seperti waktu, abadi, hancur. Ada ‘ardl yang abadi dan ada yang tidak abadi.
·         Menetapkan adanya atom (bagian yang tidak dapat dibagi-bagi lagi).
·         Gerak dan diam. Benda yang banyak bagian-bagiannya bisa bergerak dengan satu bagian yang bergerak. Menurut Mutakalimin hanya bagian itu sendiri yang begerak.
·         Qadar, yakni manusia dapat mengadakan perbuatan-perbuatannya di dunia, akan tetapi kalau sudah berada di akhirat tidak berkuasa lagi.
·         Tuhan, tanpa wahyu dapat diketahui. Ia dapat diketahui dengan perantaraan kekuatan akal.


  1. Ibrahim Ibn Sayyar al-Nazhzham (wafat 231 H)
Ia adalah murid Abu al-Nadzail al-‘Allaf, orang terkemuka lancar beribicara, banyak mendalami filsafat dan banyak karangannya. Pada masa kecilnya ia banyak bergaul dengan orang-orang bukan dari Ilsam. Setelah dewasa ia banyak berhubungan dengan filosof-filosof pada masanya. Banyak pendapat-pendapatnya yang berbeda dengan orang-orang Mu’tazilah lainnya. Di antara pendapat-pendapatnya adalah sebagai berikut:
·         Tentang benda (jisiim). Selain gerak, semua yang ada disebut jisim, termasuk warna, bau dan sebagainya.
·         Tidak mengakui adanya bagian-bagian yang tidak dapat dibagi lagi (atom). Menurutnya sesuatu bagian bagaimanapun kecilnya dapat dibagi-bagi.
·         Pada hakikatnya semua yang ada itu bergerak. Mungkin hal ini karena pengaruh filsafat Heraklitos.
·         Hakikat manusia adalah jiwanya, bukan badannya seperti pendapat abu al-Hudzail. Menurutnya badan hanyalah merupakan alat saja, dan ia mengatakan bahwa badan itu adalah penjara bagi jiwa, kalau jiwa lepas dari badan ia akan kembali ke alamnya.
·         Berkumpulnya suatu kontradiksi dengan suatu tempat itu menunjukkan adanya Tuhan.
·         Teori Sembunyi (kumun).
·         Semua makhluk dijadikan oleh Tuhan sekaligus dalam waktu yagn sama. Karena itu sebenarnya Nabi Adam itu tidak lebih dulu dari anak-anak, demikian pula ibu tidak lebih dulu dari anaknya. Lebih dulu atua kemudian hanyalah dalam lahirnya ke dunia, bukan dalam asal kejadiannya.
·         Kemu’jizatan Al-Qur’an, terletak dalam pemberitaan hal-hal yang gaib.
·         Seperti Abu Al-Hudzail ia juga berpendapat, tanpa wahyu Tuhan dapat diketahui, yaitu dengan kekuatan akal manusia.
4.      Al-Jahizh ‘Amr Ibn Bashr (Wafat 256 H)
Ia dikenal tajam penanya, banyak karangannya dan gemar membaca buku-buku filsafat terutama filsafat alam.


5.      Al-Jubbai Abu Ali Muhammad Ibn Abd. Al-Wahhab (wafat tahun 295 H)
Al-Jubbai adalah salah seorang pemimpin Mu’tazilah yang sama kemsyhurannya dengan wasil, Abu Al-Hudzail dan al-Nazhzham. Pendapat-pendapat Al-Jubbai antara lain adalah:
·          Tuhan tidak dpat disifati dengan kamil, karena yang disifati dengan kamil hanya yang terdiri dari bagian-bagian, sedang Tuhan tidak terdiri dari bagian-bagian.
·         Tuhan tak dapat disifati dengan syaja’ah (berani), karena berani berarti berani kepada hal-hal yang disenangi dan hal-hal yang ditakuti.
·         Adapun yang disebut kalam atau sabda Tuhan adalah yang tersusun dari suara dan huruf, maka ia diciptakan, baru dan tidak qadim.
·         Tuhan tidak dapat dilihat dengan mata kepala di hari kiamat, karena Tuhan itu immateri tidak dapat dilihat oleh yang materi, maka Tuhan hanya dapat dilihat dengan mata hati.
·         Daya untuk berbuat sesuatu itu telah ada di dalam diri manusia sebelum perbuatan itu dilakukan, dan daya itu merupakan sesuatu di luar tubuh manusia.
*      Tokoh-tokoh Mu’tazilah cabang Baghdad antara lain:
1)      Mu’amar ibn Abbad al-Sulmay (Wafat 220 H)
Ia adalah pembina Mu’tazilah cabang Baghdad. Ia banyak terpengaruh oleh filosof-filosof, terutama tentang sifat-sifat Tuhan.
2)      Bisyr ibn Mu’tamir (wafat 226 H)
Diantara pendapatnya ialah siapa orang yang bertobat dari dosa besar, kemudian ia mengulangi lagi, maka ia akan menerima siksa berlipat ganda.
3)      Abu Musa al-Murdar (wafat 226 H)
Menurut Syahrastani ia sangat kuat mempertaruhkan pendapat bahwa al-Qur’an itu tidak qadim, dan Tuhan tidak dapat dilihat dengan mata kepala di hari kiamat.
4)      Abu al-Husain al-Khayyat (wafat 300 H)
Ia juga berpendapat bahwa daya berbuat bagi manusia sudah ada dalam tubuh manusia sendiri. Dan dengan melalui akalnya manusia berkewajiban mengetahui Tuhan, dan mengetahui perbuatan baik dan buruk sebelum wahyu turun.

D.   Pemikiran Mu’tazilah tentang Akal dan Wahyu
          Dalam teologi Islam masalah pokok yang dibahas adalah masalah ke-Tuhanan dan kewajiban-kewajiban manusia kepada Tuhan. Akal yang ada pada manusia dan wahyu dari Tuhan merupakan alat untuk mendapatkan pengetahuan tentang kedua masalah tersebut. Akal, dengan daya yang ada pada manusia berusaha untuk sampai kepada Tuhan, dan dengan rahmat dan kasih sayang Tuhan, wahyu diturunkan melalui para Rasul untuk menolong manusia dari kelemahan dan kekurangannya. Konsepsi ini dapat digambarkan sebagi Tuhan Maha Tinggi di puncak alam wujud, dan manusia yang lemah berada di bawah.
            Konsepsi ini merupakan sistem teologi yang dapat diterapkan pada aliran-aliran teologi yang berpendapat bahwa akal manusia dapat sampai kepada Tuhan. Akan tetapi, yang menjadi persoalan, sampai dimana kemampuan manusia dapat mengetahui Tuhan dan kewajiban-kewajiban manusia terhadap Tuhan dan sampai seberapa jauh persoalan wahyu dalam kedua hal tersebut di atas.
            Joesoef (1997: 52) berpendapat bahwa aliran Mu’tazilah itu bertitik-tolak pada kepasstian memahamkannya secara logis dan rasional. Cara aliran Mu’tazilah memahamkannya itu merupakan kekuatan yang tertahankan. Adapun persoalan-persoalan yang dipermasalahkan Mu’tazilah dapat dirumuskan sebagai berikut:
Ø  Masalah mengetahui Tuhan
Ø  Masalah kewajiban berterima kasih kepada Tuhan
Ø  Masalah mengetahui baik dan jahat
Ø  Masalah kewajiban mengerjakan yang baik dan menjauhi yang jahat.
Aliran Mu’tazilah berpendapat bahwa keempat masalah di atas dapat dicapai melalui akal, meskipun kemampuan akal terbatas dan tidak sempurna, tetapi secara garis besar akal dapat sampai kepadanya, hanya hal-hal yang secara terinci diperlukan wahyu yang dibawa oleh para Rasul untuk menyempurnakan kekurangan dan kelemahan akal. Namun wahyu hanya bersifat menguatkan apa yang telah diketahui oleh akal, dan memberikan perincian terhadap pengetahuan yang telah dicapai oleh akal. Misalnya akal manusia dapat sampai pada mengetahui kewajiban manusia berterima kasih kepada Tuhan, tetapi tidak tahu bagaimana cara berterima kasih kepada Tuhan tersebut, bagaimana cara orang mengerjakan shalat, haji dan sebagainya. Dalam hal inilah peranan wahyu sangat diperlukan.
            Menurut Mu’tazilah akal hanya dapat mengetahui pokok-pokok dari garis besarnya saja, adapun yang berkenaan dengan perincian pelaksanaan, akal tidak memiliki kesanggupan untuk itu, karena itu wahyu diperlukan. Manusia tidak dapat mengetahui semua hal yang baik dan yang buruk, melainkan hanya mengetahui sebagian saja. Oleh karena itu, untuk menyempurnakan pengetahuan tentang baik dan buruk diperlukan wahyu. Dapat disimpulkan, bahwa fungsi wahyu menurut Mu’tazilah adalah sebagai berikut:
1.      Menyempurnakan pengetahuan manusia tentang baik dan buruk sehingga ada wajib al-aqliyah, yaitu kewajiban-kewajiban yang dapat diketahui melalui akal, dan ada wajib al-syarfiyyah, yaitu kewajiban-kewajiban yang hanya diketahui melalui wahyu. Demikian pula ada manakir al-aqliyah, yaitu larangan-larangan yang dapat diketahui melalui akal, dan ada pula manakir al-syar’iyyah, yaitu larangan-larangan yang hanya diketahui melalui wahyu.
2.      Memberi penjelasan tentang perincian hukaman dan upah yang akan diterima di akhirat nanti.
3.      Mengingatkan manusia dari kelengan dan mempercepat atau memperpendek jalan untuk mengetahui Tuhan.

E.    Hal yang Bertentangan antara Mu’tazilah dan Sunni
Mu’tazilah mempunyai asas atau landasan yang selalu dipegang erat oleh mereka, bahkan di atasnya-lah prinsip-prinsip mereka dibangun. Asas atau landasan itu mereka sebut dengan Al-Ushulul Khomsah (lima landasan pokok). Dalam lima ajarannya, ada hal-hal yang bertentangan dengan ajaran Sunni. Adapun rinciannya sebagai berikut:
·         Landasan Pertama: At-Tauhid
At-Tauhid adalah mengingkari dan meniadakan sifat-sifat Allah, dengan dalil bahwa menetapkan sifat-sifat tersebut berarti telah menetapkan untuk masing-masingnya tuhan, dan ini suatu kesyirikan kepada Allah, menurut mereka (Firaq Mu’ashirah, 2/832). Oleh karena itu mereka menamakan diri dengan Ahlut-Tauhid atau Al-Munazihuuna lillah (orang-orang yang mensucikan Allah).
Ø  Bantahan:
1. Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Dalil ini sangat lemah, bahkan menjadi runtuh dengan adanya dalil sam’i (naqli) dan ‘aqli yang menerangkan tentang kebatilannya. Sesungguhnya adzab Rabbmu sangat dahsyat. Sesungguhnya Dialah yang menciptakan (makhluk) dari permulaan dan menghidupkannya (kembali), Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Pengasih, Yang mempunyai ‘Arsy lagi Maha Mulia, Maha Kuasa berbuat apa yang dikehendaki-Nya.” (Al-Buruuj: 12-16).
سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ اْلأَعْلَى0 الَّذِي خَلَقَ فَسَوَّى0 وَالَّذِيْ قَدَّرَ فَهَدَى0 وَالَّذِي أَخْرَجَ الْمَرْعَى0 فَجَعَلَه غُثَآءً أَحْوَى
“Sucikanlah Nama Rabbmu Yang Maha Tinggi, Yang Menciptakan dan Menyempurnakan (penciptaan-Nya), Yang Menentukan taqdir (untuk masing-masing) dan Memberi Petunjuk, Yang Menumbuhkan rerumputan, lalu Ia jadikan rerumputan itu kering kehitam-hitaman.” (Al-A’la: 1-5). Adapun dalil ‘aqli: bahwa sifat-sifat itu bukanlah sesuatu yang terpisah dari yang disifati, sehingga ketika sifat-sifat tersebut ditetapkan maka tidak menunjukkan bahwa yang disifati itu lebih dari satu, bahkan ia termasuk dari sekian sifat yang dimiliki oleh dzat yang disifati tersebut. Dan segala sesuatu yang ada ini pasti mempunyai berbagai macam sifat … “(Al-Qawa’idul-Mutsla, hal. 10-11)
2. Menetapkan sifat-sifat Allah tanpa menyerupakannya dengan sifat makhluq bukanlah bentuk kesyirikan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata dalam Ar-Risalah Al-Hamawiyah: “Menetapkan sifat-sifat Allah tidak termasuk meniadakan kesucian Allah, tidak pula menyelisihi tauhid, atau menyamakan Allah dengan makhluk-Nya.” Bahkan ini termasuk konsekuensi dari tauhid al-asma wash-shifat. Sedangkan yang meniadakannya, justru merekalah orang-orang yang terjerumus ke dalam kesyirikan. Karena sebelum meniadakan sifat-sifat Allah tersebut, mereka terlebih dahulu menyamakan sifat-sifat Allah dengan sifat makhluk-Nya. Lebih dari itu, ketika mereka meniadakan sifat-sifat Allah yang sempurna itu, sungguh mereka menyamakan Allah dengan sesuatu yang penuh kekurangan dan tidak ada wujudnya. Karena tidak mungkin sesuatu itu ada namun tidak mempunyai sifat sama sekali. Oleh karena itu Ibnul-Qayyim rahimahullah di dalam Nuniyyah-nya menjuluki mereka dengan ‘Abidul-Ma’duum (penyembah sesuatu yang tidak ada wujudnya). Atas dasar ini mereka lebih tepat disebut dengan Jahmiyyah, Mu’aththilah, dan penyembah sesuatu yang tidak ada wujudnya.
·         Landasan kedua: Al-‘Adl (keadilan)
Keadilan adalah keyakinan bahwasanya kebaikan itu datang dari Allah, sedangkan kejelekan datang dari makhluk dan di luar kehendak Allah.
وَلاَ يَرْضَى لِعِبَادِهِ الْكُفْرَ
“Dan Dia tidak meridhai kekafiran bagi hamba-Nya.” (Az-Zumar: 7)
Menurut mereka kesukaan dan keinginan merupakan kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Sehingga mustahil bila Allah tidak suka terhadap kejelekan, kemudian menghendaki atau menginginkan untuk terjadi (mentaqdirkannya). Oleh karena itu mereka menamakan diri dengan Ahlul-‘Adl atau Al-‘Adliyyah.
Ø  Bantahan:
1. Asy-Syaikh Yahya bin Abil-Khair Al-‘Imrani t berkata: “Kita tidak sepakat bahwa kesukaan dan :
Ikeinginan itu satu. Dasarnya adalah firman Allah
فَإِنَّ اللهَ لاَ يُحِبُّ الْكَافِرِينَ
“Maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir.” (Ali ‘Imran: 32)
Padahal kita semua tahu bahwa Allah-lah yang menginginkan adanya orang-orang kafir tersebut dan Dialah yang menciptakan mereka. (Al-Intishar Firraddi ‘Alal- Mu’tazilati Qadariyyah Al-Asyrar, 1/315). Terlebih lagi Allah telah menyatakan bahwasannya apa yang dikehendaki Idan dikerjakan hamba tidak lepas dari kehendak dan ciptaan-Nya. Allah  berfirman:
وَمَا تَشَآءُونَ إِلاَّ أَنْ يَشَآءَ اللهُ
“Dan kalian tidak akan mampu menghendaki (jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah.” (Al-Insan: 30)
وَاللهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ
“Padahal Allah-lah yang menciptakan kalian dan yang kalian perbuat.” (Ash-Shaaffaat: 96)
Dari sini kita tahu, ternyata istilah keadilan itu mereka jadikan  yang merupakan bagianIsebagai kedok untuk mengingkari kehendak Allah  . Atas dasar inilah mereka lebih pantas disebutIdari taqdir Allah  dengan Qadariyyah, Majusiyyah, dan orang-orang yang zalim.
·         Landasan Ketiga: Al-Wa’du Wal-Wa’id
Adapun yang dimaksud dengan landasan ini adalah bahwa wajib bagi Allah untuk memenuhi janji-Nya (al-wa’d) bagi pelaku kebaikan agar dimasukkan ke dalam Al-Jannah, dan melaksanakan ancaman-Nya (al-wa’id) bagi pelaku dosa besar (walaupun di bawah syirik) agar dimasukkan ke dalam An-Naar, kekal abadi di dalamnya, dan tidak boleh bagi Allah untuk menyelisihinya. Karena inilah mereka disebut dengan Wa’idiyyah.
Ø  Bantahan:
1. Seseorang yang beramal shalih (sekecil apapun) akan mendapatkan pahalanya (seperti yang dijanjikan Allah) sebagai karunia dan nikmat dari-Nya. Dan tidaklah pantas bagi makhluk untuk mewajibkan yang , karena termasuk pelecehan terhadap
Idemikian itu kepada Allah  Rububiyyah-Nya dan sebagai bentuk keraguan terhadap firman-Nya:
إِنَّ اللهَ لاَ يُخْلِفُ الِمْيَعادَ
“Sesungguhnya Allah tidak akan menyelisihi janji (-Nya).” (Ali ‘Imran: 9)
Bahkan Allah mewajibkan bagi diri-Nya sendiri sebagai keutamaan untuk para hamba-Nya.
Adapun orang-orang yang mendapatkan ancaman dari Allah karena dosa besarnya (di bawah syirik) dan meninggal dunia dalam keadaan seperti itu, maka sesuai dengan kehendak Allah. Dia Maha berhak untuk melaksanakan ancaman-Nya dan Maha berhak pula untuk tidak melaksanakannya, karena Dia telah mensifati diri-Nya dengan Maha Pemaaf, Maha Pemurah, Maha Pengampun, Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Terlebih lagi Dia telah menyatakan:
إِنَّ اللهَ لاَ يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُوْنَ ذاَلِكَ لِمَنْ يَشَآء
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik (bila pelakunya meninggal dunia belum bertaubat darinya) dan mengampuni dosa yang di bawah (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” (An-Nisa: 48) (Diringkas dari kitab Al-Intishar Firraddi ‘Alal-Mu’tazilatil-Qadariyyah Al-Asyrar, 3/676, dengan beberapa tambahan).
2. Adapun pernyataan mereka bahwa pelaku dosa besar (di bawah syirik) kekal abadi di An-Naar, maka sangat bertentangan dengan firman Allah dalam Surat An-Nisa ayat 48 di atas, dan juga bertentangan dengan sabda Rasulullah yang artinya: “Telah datang Jibril kepadaku dengan suatu kabar gembira, bahwasanya siapa saja dari umatku yang meninggal dunia dalam keadaan tidak syirik kepada Allah niscaya akan masuk ke dalam al-jannah.” Aku (Abu Dzar) berkata: “Walaupun berzina dan mencuri?” Beliau menjawab: “Walaupun berzina dan mencuri.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari shahabat Abu Dzar Al-Ghifari). Meskipun mungkin mereka masuk neraka lebih dahulu.
·         Landasan Keempat: Suatu keadaan di antara dua keadaan
Adapun yang mereka maksud adalah, bahwasannya keimanan itu satu dan tidak bertingkat-tingkat, sehingga ketika seseorang melakukan dosa besar (walaupun di bawah syirik) maka telah keluar dari keimanan, namun tidak kafir (di dunia). Sehingga ia berada pada suatu keadaan di antara dua keadaan (antara keimanan dan kekafiran).
Ø  Bantahan:
1.Bahwasannya keimanan itu bertingkat-tingkat, bertambah dengan ketaatan dan berkurang :
Idengan kemaksiatan, sebagaimana firman Allah:
وَ إِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ ءَايَاتُه زَادَتْهُمْ إِيْمَانًا
“Dan jika dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, maka bertambahlah keimanan mereka.” (Al-Anfal: 2)

وَإِذَا مَا أُنْزِلَتْ سُوْرَةٌ فَمِنْهُمْ مَنْ يَقُوْلُ أَيُّكُمْ زَادَتْهُ هَذِهِ إِيْمَانًا فَأَمَّا الَّذِيْنَ آمَنُوا فَزَادَتْهُمْ إِيْمَانًا وَهُمْ يَسْتَبْشِرُوْنَ۰وَأَمَّا الَّذِيْنَ فِيْ قُلُوْبِهِمْ مَرَضٌ فَزَادَتْهُمْ رِجْسًا إِلَى رِجْسِهِمْ وَمَاتُوْا وَهُمْ كَافِرُوْنَ
“Dan apabila diturunkan suatu surat, maka di antara mereka (orang-orang munafik) ada yang berkata: ‘Siapakah di antara kamu yang bertambah imannya dengan (turunnya) surat ini?’ Adapun orang-orang yang beriman, maka surat ini menambah imannya, sedang mereka merasa gembira. Dan adapun orang-orang yang di dalam hati mereka ada penyakit, maka dengan surat itu bertambah kekafiran mereka, di samping kekafirannya (yang telah ada) dan mereka mati dalam keadaan kafir.” (At-Taubah: 124-125)

وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيْمُ رَبِّ أَرِنِي كَيْفَ تُحْيِي الْمَوْتَى قَالَ أَوَلَمْ تُؤْمِنْ قَالَ بَلَى وَلَكِنْ لِيَطْمَئِنَّ قَلْبِي
“Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata: “Ya Tuhanku, perlihatkanlah padaku bagaimana Engkau menghidupkan orang mati”. Allah berfirman: “Belum yakinkah kamu?” Ibrahim menjawab: “Aku telah meyakininya, akan tetapi agar hatiku tetap mantap (dengan imanku)…” (Al-Baqarah: 260)
Rasulullah bersabda: “Keimanan itu Rasulullah  (mempunyai) enam puluh sekian atau tujuh puluh sekian cabang/tingkat, yang paling utama ucapan “Laa ilaaha illallah”, dan yang paling rendah menyingkirkan gangguan dari jalan, dan sifat malu itu cabang dari iman.” (HR Al-Bukhari dan Muslim, dari shahabat Abu Hurairah z)
2. Atas dasar ini, pelaku dosa besar (di bawah syirik) tidaklah bisa dikeluarkan dari keimanan secara mutlak. Bahkan ia masih sebagai mukmin namun kurang iman, karena Allah masih menyebut dua golongan yang saling bertempur (padahal ini termasuk dosa besar) dengan sebutan orang-orang yang beriman, sebagaimana dalam firman-Nya:
“Dan jika ada dua golongan dari orang-orang yang beriman saling bertempur, maka damaikanlah antara keduanya…”(Al-Hujurat: 9)
·         Landasan Kelima: Amar Ma’ruf Nahi Mungkar
Di antara kandungan landasan ini adalah wajibnya memberontak terhadap pemerintah (muslim) yang zalim.
Ø  Bantahan:
Memberontak terhadap pemerintah muslim yang zalim merupakan prinsip sesat yang bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah. Allah telah berfirman:

يَآءَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِى الأَمْرِ مِنْكُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri (pimpinan) di antara kalian.” (An-Nisa: 59)
Rasulullah bersabda: “Akan datang setelahku para pemimpin yang tidak mengikuti petunjukku dan tidak menjalankan sunnahku, dan sungguh akan ada di antara mereka yang berhati setan namun bertubuh manusia.” (Hudzaifah berkata): “Wahai Rasulullah, apa yang kuperbuat jika aku mendapati mereka?” Beliau menjawab: “Hendaknya engkau mendengar (perintahnya) dan menaatinya, walaupun punggungmu dicambuk dan hartamu diambil.” (HR. Muslim, dari shahabat Hudzaifah bin Al-Yaman
v  Tabel perbandingan antara ajaran Mu’tazilah dan Sunni, antara lain:
No.
Aspek Perbandingan
Aliran Mu’tazilah
Aliran Sunni
1.
Pelaku Dosa  Besar
Dosa besar adalah segala perbuatan yang ancamannya disebutkan secara tegas dalam nas. Pelaku dosa besar disebut al-manzilah bain al-manzilatain (antara mukmin dan kafir) atau fasiq. Jika meninggal dunia dan belum sempat bertaubat, maka kekal di neraka dengan siksa lebih ringan daripada orang kafir.
Pelaku dosa besar masih tetap dianggap sebagai mukmin atau orang yang beriman karean adanya keimanan dalam dirinya. Mereka dikategorikan sebagai mukmin yang ‘ashi (berbuat maksiat).Akan tetapi, jika dosa besar itu dilakukannya dengan anggapan bahwa hal tersebut halal dan tidak meyakini keharamannya, maka ia dipandang kafir. Balasan di akhrat bagi para pelaku dosa besar yang belum sempat bertaubat, bergantung pada kebijakan Tuhan sesuai dengan ukuran dosa yang diakukannya. Ia tidak akan kekal dalam neraka.setelah penyiksaan selesai, maka akan dimasukkan ke dalam surga. Hal ini karena Tuhan telah menjanjikan bahwa perbuatan dosa besar selain syirik, tidak menjadikan seseorang kafir atau murtad.
2.
Iman dan Kufur
Ma’rifah (pengetahuan dan akal) sebagai unsur pokok yang rasional dari iman berimplikasi pada setiap penolakan keimanan berdasarkan otoritas orang lain (al-iman bi at-taqlid). Segala pengetahuan dapat diperoleh dengan perantaraan akal dan segala kewajiban dapat diketahui dengan pemikiran yang mendalam. Mu’tazilah sangat menekankan pentingnya pemikiran logis atau penggunaan akal bagi keimanan. Iman seseorang dikatakan benar, apabila didasarkan pada akal bukan karena taqlid. Mu’tazilah memasukkan unsur amal sebagai unsur penting dari iman (al-amal juz’un min al-iman).
Ada tiga unsur iman yaitu tashdiq, qaul, dan amal. Ma’rifah bukan esensi iman, melainkan faktor penyebab kehadiran iman. Iman adalah meyakini dalam hati dengan diucapkan melalui lisan dan diwujudkan dalam bentuk perbuatan. Amal bukan unsur penting dari iman. Iman tidak dapt bertambah atau berkurang.
3.
Perbuatan Tuhan
Paham adanya kewajiban Tuhan yaitu kewajiban tidak memberikan beban di luar kemampuan manusia, kewajiban mengirimkan asul, kewajiban menepati janji dan ancaman.
Dalam Al-Qur’an dikatakan bahwa Tuhan tidak membebani manusia dengan kewajiban-kewajiban yang tak terpikul. Adanya pengiriman rasul tidaklah bersifat wajib dan hanya bersifat mungkin, karena hal itu sesuia dengan kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Tuhan akan memberikan balasan terhadap orang yang berbuat baik dan buruk sesuai dengan kehendak mutlak Tuhan.
4.
Perbuatan Manusia
Perbuatan manusia bukanlah diciptakan Tuhan dalam diri manusia, tetapi manusia sendirikah ynag mewujudkan perbuatannya. Aliran Mu’tazilah tidak mengingkari ilmu azali Allah yang mengetahui segala apa yang terjadi dan diperbuat manusia. Menurut Mu’tazilah, manusia terlibat dalam penentuan ajal, karena ajal ada dua macam. Ajal yang pertama yaitu ajal yang memang berasa dari kekuasaan mutlak Tuhan untuk menentukannya, sedangkan yang kedua adalah ajal yang diperbuat oleh manusia itu sendiri (dapat dipercepat atau diperlambat).
Perbuatan manusia diciptakan oleh Allah sedangkan daya manusia tidak mempunyai efek untuk mewujudkannya. Jadi, perbuatan adalah sesuatu hal ynag diciptakan pula dalam diri manusia oleh Allah dan merupakan kasb (perolehan) bagi manusia. Kasb merupakan penyertaan perbuatan dengan daya manusia yang baru. Ini berimplikasi bahwa perbuatan manusia dibarengi oleh daya kehendaknya, dan bukan atas kehendaknya.
5.
Sifat-sifat Tuhan
Aliran Mu’tazilh yang memberikan daya besar pada akal berpendapat bahwa Tuhan tidak dapat dikatakan mempunyai sifat-sifat jasmani. Bagi meraka. Tuhan tetap mengetahui, berkuasa, dan sebagainya, tetapi bukan dengan sifat yang sebenarnya. Semua itu sudah nerupakan dzat tau esensi Tuhan.
Allah mempunyai sifat-sifat ynag unik karenanya tidak dapat dibandingkan dengan sifat manusia. Sifat mengandung arti tetap dan kekal. Dalam mempertahankan kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, Tuhan pasti mempunyai sifat-sifat yang kekal.
6.
Kehendak Mutlak Tuhan dan Keadilan Tuhan
Kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan berlaku dalam jalur-jalur yang berlaku di tengah alam semesta. Perbuatan Tuhan tidaklah untuk kepentinagn dirinya sendiri, tetapi untuk kepentingan makhluq dan perbuatannya selalu baik. Keadilan Tuhan terletak pada keharusan adanya tujuan dalm perbuatan-perbuatn-Nya, yaitu kewajiban berbuat baik dan terbaik bagi makhluq dan member kebebasan kepada manusi. Adapun kehendak mutlak-Nya dibatasi oleh keadilan Tuhan itu sendiri.
Golongan Sunni memberi makna keadilan Tuhan dengan pemahaman bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan mutlak terhadap makhluq-Nya dan dapat berbuat sekehendak hati-Nya. Akan tetapi, Tuhan tidak akan berbuat dzalim pada umat-Nya. Tuhan adil mengandung arti bahwa segala perbuatan Tuhan adalah baik dan tidak mampu untuk berbuat buruk serta tidak mengabaikan kewajiban-kewajiban-Nya terhadap manusia. Oleh sebab itu, Tuhan tidak akan memberi beban yang terlalu berat kepada manusia dan tidak sewenang-wenang dalam memberikan hukuman. Tuhan akan memberi pahala (upah) atau hukuman kepada umat manusia sesuai dengan perbuatannya. Keadilan Tuhan dalam konsep Sunni terletak pada kehendak mutlak-Nya
7.
Kedudukan Al-Qur’an
Menurut Mu’tazilah Al-Quran itu makhlûq.
Kaum Mu`tazilah telah menggoncangkan umat Islam sejak dari tahun ke-2 hingga tahun ke-3 Hijriyah dengan mengatakan al-Quran itu makhlûq, bukan kalâm Allah yang qadîm. Ini adalah lanjutan dari kepercayaan mereka bahwa Allah tidak memiliki sifat.
Pendapat ini jelas bertentangan dengan pendapat Ahlussunnah Wal Jamaah yang menyatakan bahwa al-Quran adalah kalâm Allah, dan kalâm itu adalah sifat Allah yang qadîm yang wujud bersama dengan Zat Allah yang qadîm, jadi al-Quran juga qadîm. Kalâm yang qadîm itu diperdengarkan kepada Jibril, lalu Jibril membacakannya kepada Nabi Muhammad SAW sebagai wahyu. Kemudian Nabi membacakannya kepada sahabat-sahabatnya, lalu mereka menulisnya, maka jadilah ia berhuruf dan bersuara seperti yang nampak, kita dengar dan baca sekarang. Pada hakikatnya kalâm itu sesuatu yang abstrak, yang tidak dapat dilihat. Al-Quran itu mempunyai madlûl yang sama dengan madlûl kalâm Allah yang azalî.
8.
Keberadaan Kiraman Katibin (Malaikat Penjaga Surga dan Neraka)
Kirâman Kâtibin tidak ada
Kaum Mu`tazilah juga tidak mengakui akan adanya malaikat Kirâman Kâtibîn yang bernama Raqîb dan `Atîd yang bertugas menulis amalan manusia sama ada baik atau jahat. Mereka berpendapat bahwa ilmu Allah sangat luas dan meliputi semuanya. Tidak ada sesuatupun yang tersembunyi dari pada-Nya. Dengan itu tidak perlu bagi Allah mengambil pembantu untuk menulis segala amalan manusia.

Ahlussunnah Wal Jamaah menolak pendapat ini karena jelas bertentangan dengan nash al-Quran. Firman Allah yang artinya “Sesungguhnya bagi kami itu ada penjaga-penjaga yaitu malaikat kirâman kâtibîn.” Berdasarkan ini, maka Ahlussunnah Wal Jamaah berpendapat bahwa ada dua malaikat yaitu Raqîb dan `Atîd yang duduk di kiri dan kanan manusia yang bertugas untuk menulis semua perbuatan manusia sama ada baik atau jahat.
                                                                                                                                        

BAB III
PENUTUP

A.   Simpulan
Ajaran-ajaran dasar golongan Mu’tazilah berasal dari Ibn Atha’, pokok-pokok pikiran itu dirumuskan dalam ajarannya yang disebut “Al-ushul al-Khamsah”, atau lima ajaran dasar yaitu  At-Tauhid (pengesahan Tuhan), Al-‘adl (keadilan Tuhan), Al-waad wa al-wa’id (janji dan ancaman Tuhan),  Al-manzilah bain al-manzilatain (posisi di antara dua posisi),  dan Al-‘amr bi al-ma’ruf wa al-nahi an al-munkar (menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran).
Kaum Mu`tazilah menitik-beratkan segala yang baik dan buruk suatu perkara itu dapat ditentukan oleh akal, sedangkan aliran Sunni atau Ahlussunnah Wal Jamaah tetap menggunakan akal fikiran, tetapi hanya untuk meneliti dan menyelaraskan atau mencari hikmah dan `illat dari hukum-hukum Allah. Bukan untuk menetapkan hukum sebagaimana yang dipraktekkan oleh kaum Mu`tazilah yang menjadikan akal dan kaidah-kaidah mantîq filsafat sebagai landasan hukum mereka.
Kaum Mu`tazilah menganggap Allah hanya mempunyai zat-Nya saja, artinya Tuhan melihat dengan zat-Nya dan berkata-kata juga dengan zat-Nya. Mereka mengatakan kalau Allah bersifat, ini bermakna bahwa Allah itu dua. Satunya Allah zat dan yang satu lagi Tuhan Sifat. Dan ini bersalahan dengan konsep tauhid. Pendapat ini ditentang oleh Ahlussunnah Wal Jamaah yang menyatakan bahwa Allah memiliki sifat, bukan satu atau dua tetapi banyak. Ada yang wajib, ada yang jâ’iz dan ada yang mustahil.
Selain itu, dalam penetapan kedudukan pelaku dosa besar, Mu’tazilah bependapat bahwa para pelaku dosa besar yang belum sempat bertobat sebelum kematian menjemputnya, mereka kekal di neraka dan berada pada posisi antara kafir dan mukmin. Hal ini jelas bertentangan dengan ajaran Sunni ynag mengatakan bahwa para pelaku dosa besar itu (selain syirik), tidak akan kekal di neraka. Kematian para pelaku dosa besar itu dalam keadaan mukmin ashi’. Setelah masa hukuman habis, mereka akan masuk surga.
Demikianlah kaum Mu`tazilah yang paling kuat berpegang dengan kepintaran akal pikiran mereka, sehingga mereka sanggup menolak beberapa nash karena bertentangan dengan akal dan tidak sesuai dengan pemikiran mereka. Adanya berbagai pertentangan antara paham Mu’tazilah dan Sunni, semakin menuntut kita sebagai umat muslim untuk kritis dalam mengetahui aliran yang benar sesuai Al-          Qur’an dan Hadits, yaitu Ahlu Sunnah Wal Jama’ah (Sunni).

B.   Saran
Semoga makalah ini dapat menambah wawasan kita, khususnya bagi generasi muda Islam Indonesia. Keberadaan makalah ini, diharapkan dapat membentuk jiwa kekritisan dalam diri setiap pembaca, khususnya mahasiswa muslim. Kita sebagai generasi muda muslim, sebaiknya kita mampu mengetahui dan membandingkan ajaran-ajaran atau doktrin-doktrin yang berkembang dalam dunia Islam, khususnya antara Mu’tazilah dan Sunni, seperti yang dipaparkan dalam makalah ini. Kami berharap, makalah ini dapat bermanfa’at dan meningkatkan ilmu pengetahuan kita mengenai aliran atau golongan dalam Islam. Semoga kita selalu berada dalam golongan Ahlu Sunnah Wal Jama’ah sebagai golongan yang disarankan oleh Rasulullah.